Karenakeistimewaan inilah mereka memiliki keahlian untuk menjelaskan nash-nash tersebut jika ada pertanyaan atau persoalan yang muncul pada masa itu. Qiyas atau Ra’yu (pendapat), lalu Ijma yang bersandar pada al Qur’an, sunnah dan qiyas (Khudari Bik. 259). Para sahabat seringkali berbeda pendapat tentang berbagai kejadian dan
Bila sobat sedang perlu solusi dari pertanyaan “apa perbedaan ijma dan qiyas”, maka teman-teman sudah berada di tempat yang benar. Disini tersedia beberapa solusi mengenai soal tadi. Yuk baca lebih lanjut. —————— Pertanyaan apa perbedaan ijma dan qiyas Jawaban 1 untuk Pertanyaan apa perbedaan ijma dan qiyas Soal Apa perbedaan ijma dan qiyas —————————- Jawaban PENDAHULUAN Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Halo adik-adik para pejuang pencari ilmu, bagaimana kabarnya ?. kali ini Insha Allah kakak akan membantu menjawab pertanyaan adik-adik diatas yaitu “Apa perbedaan ijma dan qiyas ” . yuk langsung saja kita bahas. PEMBAHASAN Islam merupakan agama yang sempurna, satu-satunya agama yang didalamnya terdapat berbagai macam penjelasan mengenai cara menjalani kehidupan. baik itu hukum keluarga, muamalat perdata , jinayat pidana , murafaat acara , ketatanegaraan, hukum ekonomi, keuangan, bahkan hubungan antar bangsa. Tidak adasatupun permasalah yang terjadi dalam kehidupan ini tanpa adanya hukum yang mengatur dalam islam. maka para ulama berpendapat bahwa ada 4 sumber-sumber hukum yang digunakan di dalam islam, yaitu Al Quran, as Sunnah hadist , Ijma dan qiyas . ijma dan qiyas termasuk dalam sumber- sumber hukum islam. Ijma, yaitu sebuah kesepakatan ulama mengeanai suatu perkara bila tidak ditemukan hukumnya yang jelas dalam AL quran dan hadist. Ulama sampaikan arti ijma adalah “Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad umat Muham-mad, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara hukum.” Ijma dapat dibagi dua, yaitu ijma Qauli dan ijma sukuti. Ijma Qauli adalah dimana para ulama berijtihad dengan menetapkan suatu hukum dengan lisannya maupun tulisan yang menjelaskan tentaang persetujuan akan suatu perkara. Kemudian ijma sukuti adalah diamnya ulama terhapap suatu perkara yang telah ditentukan hukumnya oleh mutjahid lainnya. Karena persetujuan. Urutan penentuan hukum melalui ijma adalah sebagai berikut a. Khulafaur Rasyidin 4 pemimpin pertama islam , bila tidak ada maka b. Pendapat imam madzab sekarang hanya ada 4 yaitu imam syafi’i, maliki, hanbai, hanafi, bila tidak ada c. Hasil dari ijma ulama yang mutawatir , atau umum digunakan yang sebagian besar ulama diseluruh dunia menyetujuinya. Jangan gunakan pendapat ahad , atau hanya disetujui satu orang ulama. Contoh penyelesaian dengan ijma adalah penentuan sholat tarawih dalam satu jamaah pada zaman sayiddina umar, dan pembukuan Al quran yang dimulai pada zama sayiidina abu bakar. Qiyas , yaitu penentuan suatu hukum yang belum ada ketentuan hukumnya baik dari Al Quran, Hadist maupun ijma. Dengan cara membandingkan atau mengibaratkan dengan suatu hukum yang telah ada , yang ada persamaan didalamnya. Contoh qiyas adalah pengharaman segala sesuatu yang memabukkan, hukum asalnya adalah ALLAH melarang meminum khamar karena memabukkan, kemudian kita mengambil qiyas untuk memberi hukum haram pada segala hal lain selain khamar yang dapat memabakkan. Yaitu sabu, ganja, pil koplo, dan narkoba jenis lainnya. KESIMPULAN Perbedaan ijma dan qiyas adalah 1. Ijma lebih diutamakan dari Qiyas. Bila bisa diselesaikan dengan ijma maka tidak perlu melakukan qiyas 2. Ijma adalah hasil pemikiran ulama mutjahid dalam penetuan suatu hukum yang diambil dari hasil meneliti AL Quran dan Hadist, sedangkan qiyas adalah pengibaratan yang dilakukan untuk menyelesaikan perkara yang belum pernah ada, yang kemudian dicarikan persamaannya dengan perkara yang jelas hukumnya. PELAJARI LEBIH LANJUT Demikian jawaban kakak, semoga dapat membantu, nah adik-adik untuk soal-soal perkara agama lain, adik-adik bisa cek link dibawah ini yaa. Insha ALLAH jawaban-jawabannya khair karena sudah terverifikasi oleh team brainly . cekidot ! Hikmah dan kandungan surah al-a’raf ayat 98 Sebutkan sumber sumber hukum islam dan jelaskan 1 per 1 Sebutkan 15 hal-hal yg harus saya contoh dari Rasulullah. Yg baiknya saja ya. Itu ngambil jwbannya dari foto ya Bantu dong bsk di kumpulkan bantu ya pliss mks bnyk kak Oke adik adik Semangat! Jangan lupa jadikan jawaban TERBAIK ! optitimcompetition ……………………………………………………………………………………………………………………………………… DETAIL JAWABAN Kelas XI Pelajaran Agama Kategori BAB 1 – Al Quran sebagai pedoman hidup Kata Kunci sumber hukum dalam islam. Ijma dan qiyas Kode —————— Sekian jawaban mengenai apa perbedaan ijma dan qiyas, mimin harap dengan jawaban tadi bisa membantu menjawab pertanyaan kamu. Bila kamu masih memiliki pertanyaan lain, silahkan gunakan tombol pencarian yang ada di situs ini. Keduanyahadis atau Al-Quran -- selain ijma’ dan qiyas -- merupakan sumber hukum Islam menurut paham Ahlussunah Waljamaah. Al-Quran disebut wahyu, ada lagi wahyu Allah tapi tidak boleh disebut Al-Quran, yaitu Hadis Qudsi. Meskipun sama-sama bersumber dari Allah, namun keduanya tidak memiliki kedudukan yang sama.
بسم الله الرحمن الرحيم Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-Alim Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Laman Facebook Beliau “Fiqhiyun” Jawaban Pertanyaan Berbagai Pertanyaan Tentang Qiyas Kepada Zahid Thalib Nu’aim Soal Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Syaikhuna al-jalil, semoga Allah melimpahkan keberhakan atas upaya Anda, semoga Allah menguatkan langkah Anda, melimpahkan pemberian yang besar kepada Anda, mengecilkan kesulitan-kesulitan untuk Anda dan memuliakan kita dengan menolong agamaNya, sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi menjawab doa. Topik Berbagai pertanyaan tentang qiyas. Di awal, saya mohon maaf atas panjangnya pertanyaan. Semoga Allah menolong Anda di atas ketaatan kepada-Nya dan menjadikan kesabaran Anda ada di timbangan kebaikan Anda. Pertama di Jawab Soal tanggal 07/02/2014 dinyatakan Adapun catatan Anda seputar apa yang dinyatakan di buku “telah ditetapkan keberadaan qiyas sebagai dalil syara’ dengan dalil qath’iy dan dalil-dalil zhanniy”. Ucapan Anda ada aspek benarnya. Meskipun kata ad-dalîl itu disebutkan di dalam ushul dan di dalam fiqh, tetapi konotasinya berbeda dari sisi qath’i dan zhanni. Dan karena topiknya di sini adalah tentang dalil-dalil ushul, maka yang lebih utama adalah dibatasi pada dalil qath’iy tanpa dalil zhanniy. Atas dasar itu maka yang lebih afdhal adalah dikoreksi. Dan kami akan mengoreksinya insya’a Allah, selesai. Koreksi itu telah dinyatakan di cetakan terbaru tertanggal 16/07/2019 halaman 322 di dua tempat Tetapi ketika saya menyelesaikan topik tersebut, saya ditantang oleh beberapa kalimat yang sulit saya pahami, dan saya tidak bisa mempertemukan antara hal itu dengan apa yang ada di koreksi yang baru, sebagai berikut Halaman 323, hadits-hadits ini semuanya merupakan dalil syara’ bahwa qiyas merupakan hujjah. Aspek berargumentasi dengannya bahwa Rasul saw mengaitkan utang yang menjadi hak Allah dengan utang adami dalam hal wajibnya dibayar dan menfaatnya. Dan itu adalah qiyas.. Halaman 325, hadits-hadits ini tidak diketahui adanya orang yang mengingkarinya dan perkara itu masyhur di antara para sahabat padahal itu termasuk perkara yang harus diingkari. Jadi diamnya mereka terhadapnya sementara itu termasuk perkara yang mereka tidak akan diam atasnya, maka merupakan ijmak atas keberadaan qiyas merupakan hujjah syar’iyah. Halaman 326, dari hal itu menjadi jelas bahwa hadits, ijmak sahabat dan penetapan illat oleh Rasul saw untuk banyak hukum merupakan dalil bahwa qiyas merupakan dalil syar’iy dari dalil-dalil yang menjadi hujjah bahwa hukum yang diistinbath dengannya merupakan hukum syara’ … Atas hal itu dalil-dalil ini tidak menjadi hujjah atas qiyas secara mutlak tetapi merupakan hujjah atas qiyas yang illat di dalamnya telah ditunjukkan oleh dalil syara’. Dan ini merupakan qiyas yang muktabar secara syar’iy. Tampak bagi saya, seolah tiga topik ini kontradiksi dengan dua tempat yang ditunjukkan di atas. Saya mohon kesediaan Anda menjelaskan apa yang jadi masalah bagi saya itu. Kedua dinyatakan di buku Bahru al-Muhîth karya az-Zarkasyi -kitab al-qiyas – bab ketiga tentang wajibnya mengamalkan qiyas yang kedua apakah dalalah sam’iy atasnya bersifat qath’iy atau zhanniy? Mayoritas mengatakan yang pertama -yakni qath’iy-. Dan Abu al-Husain dan al-Amidi berpendapat yang kedua -yakni zhanniy -, selesai. Az-Zarkasyi juga berbicara di tempat lainnya, ketiga, ijmak shahabat mereka sepakat mengamalkan qiyas. Dan telah dinukilkan hal itu dari mereka baik ucapan dan perbuatan. Ibnu Aqil al-Hanbali berkata “telah mencapai tawatur maknawi dari para shahabat tentang penggunaan qiyas, dan itu qath’iy, selesai. Apakah mungkin, dalil sam’iy zhanniy telah mencapai batas tawatur maknawi dan menjadi dalil qath’iy atas kehujahan qiyas? Ketiga dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III halaman 323, hadits-hadits ini semuanya merupakan dalil bahwa qiyas merupakan hujjah. Dan aspek berargumentasi dengannya, bahwa Rasul saw mengaitkan utang yang menjadi hak Allah dengan utang adami dalam wajibnya dilunasi dan manfaatnya, dan itu merupakan qiyas.. 1. Apakah qiyas yang dilakukan oleh Rasul saw yang dinyatakan di paragraf itu adalah dalam makna bahasanya untuk mendekatkan potret dan memudahkan pemahaman untuk orang yang mendengar ataukah itu dengan makna istilahnya dan berlaku atasnya definisi yang dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah juz III halaman 321, qiyas didefinisikan adalah menetapkan semisal hukum yang sudah diketahui pada sesuatu yang sudah diketahui lainnya dikarenakan kebersamaannya dalam illat hukum menurut orang yang menetapkan? 2. Apakah illat keputusan tersebut yaitu keberadaannya sebagai utang, yang dipahami dari nash-nash yang diqiyaskan terhadapnya, misalnya seseorang melunasi utang orang tuanya yang telah meninggal yang meninggalkan shalat semua waktu wajib yang dilakukan orang tuanya semasa hidup, dengan mengqiyaskan atas penunaian haji karena kesamaan dalam illat keberadaannya sebagai utang seraya memperhatikan bahwa ibadah tidak disertai illat? 3. Kenapa penunaian haji oleh anak atas nama orang tuanya yang tidak mampu, disebut pelunasan dan haji dianggap utang yang menjadi hak Allah, padahal sudah diketahui bersama bahwa haji itu bergantung pada kemampuan? Keempat dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III halaman 336 tentang syarat-syarat cabang al-far’u, keempat hukum cabang itu hendaklah tidak dinyatakan oleh nash, dan jika tidak maka di situ berarti ada qiyas sesuatu yang sudah dinyatakan. Padahal yang satu diqiyaskan kepada yang lain tidak lebih utama dari sebaliknya. Tidak dikatakan bahwa kemiripan dalil-dalil atas konotasi yang sama adalah boleh. Sebab ini tidak lain ada pada selain qiyas. Seperti suatu hukum ditetapkan dengan al-Kitab, as-Sunnah dan Ijmak Shahabat. Adapun qiyas maka illat ditetapkan di situ dan jangkauannya ke hukum cabang adalah yang menjadikan qiyas itu ada. Jadi jika di situ ada nash atas hukum dalam cabang maka hukumnya ketika itu ditetapkan dengan nash bukan illat sehingga tidak ada ruang untuk qiyas, selesai. Lalu bagaimana qiyas itu berasal dari Rasul saw, padahal sudah diketahui bahwa apa saja yang bersumber dari Rasul saw dinilai sebagai nash syar’iy yang menafikan qiyas? Hal itu seperti diisyaratkan oleh imam asy-Syaukani di bukunya Irsyâd al-Fuhûl menjawab atas orang yang menilai hadits-hadits sebagai dalil atas kehujjahan qiyas, hal itu dijawab bahwa berbagai pengqiyasan ini bersumber dari asy-Syâri’ yang ma’shum, yang Allah SWT mengfirmankan dalam wahyu yang Rasul saw bawa إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوْحَى “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” TQS an-Najm [53] 4. Dan tentang wajibnya mengikuti Beliau, Allah SWT berfirman وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” TQS al-Hasyr [59] 7. Dan hal itu keluar dari obyek perselisihan. Qiyas yang ada dalam ucapan kami adalah qiyas orang yang tidak ma’shum, tidak wajib mengikutinya dan ucapannya bukan wahyu, tetapi amarah itu dari dirinya sendiri dan dengan akalnya yang bisa salah. Dan kami telah bahas sebelumnya bahwa telah terjadi kesepakatan atas tegaknya hujjah dengan qiyas-qiyas yang bersumber dari Rasul saw, selesai. Kelima dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III halaman 335, penggunaan qiyas memerlukan pemahaman yang dalam. Tidak boleh qiyas untuk mengistinbath hukum kecuali untuk mujtahid, meski dia mujtahid mas’alah. Lalu bagaimana kita menisbatkan qiyas kepada Rasul saw padahal pada diri Rasul tidak boleh menjadi seorang mujtahid? Ya Allah, ajarkan kepada kami apa yang bermanfaat bagi kami dan berilah manfaat kepada kami dengan apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau maha mengetahui lagi maha bijaksana. Dan seruan akhir kami bahwa segala puji milik Allah Rabb semesta alam. Jawab Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu. Di awal, semoga Allah melimpahkan keberkahan pada Anda atas doa Anda yang baik untuk kami, dan demikian juga kami mendoakan kebaikan untuk Anda … Sungguh, Anda wahai saudaraku memperbanyak pertanyaan sekaligus. Tampaknya yang lebih afdhal Anda mencukupkan dengan satu pertanyaan. Jika kami menjawabnya maka bisa diikuti dengan pertanyaan lainnya, bukannya Anda kirimkan tujuh pertanyaan sekaligus … Meski demikian, kami berpandangan menjawabnya sebab itu berkaitan dengan buku dan tsaqafah kita … Tetapi ke depan, jangan Anda kirim sejumlah pertanyaan sekaligus. Ringankanlah dari kami, semoga Allah merahmati Anda. 1. Berkaitan dengan pertanyaan pertama Anda seputar tiga tempat di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III Benar, kami melakukan koreksi di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III dalam pembahasan qiyas berdasarkan apa yang ada di Jawab Soal tertanggal 7 Rabi’ul Akhir 1435 bertepatan 07 Februari 2014 …Tetapi kami memperhatikan melakukan koreksi itu dengan menjadikan pembahasan tersebut terbagi menjadi dua – Bagian pertama, berkaitan dengan dalil-dalil penetapan qiyas, maka di situ kami batasi perkaranya pada dalil qath’iy dan tidak kami gabungkan dalil-dalil zhanniy. – Bagian kedua berkaitan dengan petunjuk arahan kepada qiyas dan penjelasan realitanya. Bagian ini kami berdalil dengan dalil-dalil as-Sunnah dan Ijmak dan kami tidak membatasi perkara di situ dengan dalil-dalil qath’iy saja sebab itu tidak dalam konteks penetapan keberadaan qiyas sebagai dalil syar’iy yang mana sudah kami tetapkan hal itu di bagian pertama pembahasan … Tidak diragukan bahwa dalil-dalil yang telah kami sampaikan di bagian kedua pembahasan bahwa as-Sunnah dan Ijmak merupakan dalil zhanniy yang menjelaskan realita qiyas. Tetapi itu bukan dalil qath’iy atas kehujahan qiyas. Ini tidak masalah, sebab kami tidak berdalil dengannya dalam konteks penetapan kehujahan qiyas seperti yang disebutkan di atas, tetapi dalam konteks lainnya yaitu arahan petunjuk kepada qiyas dan penjelasan realitanya … Dan untuk lebih menjelaskan perkara tersebut saya kutipkan topik yang diperlukan dari nash terdahulu dari buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III sebelum dilakukan koreksi kemudian topik penggantinya dari teks baru setelah koreksi a. Teks sebelum dikoreksi dan qiyas merupakan dalil syar’iy atas hukum syara’. Qiyas merupakan hujjah untuk menetapkan bahwa suatu hukum merupakan hukum syara’. Telah dibuktikan keberadaan qiyas sebagai dalil syar’iy dengan dalil qath’iy dan dalil-dalil zhanniy. Adapun dalil qath’iy adalah bahwa posisi penilaian qiyas sebagai dail syar’iy tidak lain dalam kondisi yang di situ qiyas dikembalikan kepada nash itu sendiri … Adapun dalil-dalil zhanniy maka itu adalah dalil-dalil atas qiyas dan dalil-dalil atas jenis qiyas yang merupakan dalil syar’iy. Telah dibuktikan keberadaan qiyas sebagai hujjah dengan as-Sunnah dan Ijmak Shahabat. Telah dibuktikan bahwa Rasul saw menunjukkan kepada qiyas dan beliau menyetujui qiyas. Dari Ibnu Abbas …., selesai. b. Teks setelah koreksi dan qiyas merupakan dalil syar’iy atas hukum syara’. Qiyas merupakan hujjah untuk menetapkan bahwa suatu hukum merupakan hukum syara’. Telah dibuktikan keberadaan qiyas sebagai dalil syar’iy dengan dalil qath’iy. Yaitu bahwa posisi penilaian qiyas sebagai dail syar’iy tidak lain dalam kondisi yang di situ qiyas dikembalikan kepada nash itu sendiri … Rasulullah saw telah menunjukkan kepada qiyas dan beliau menyetujui qiyas. Dari Ibnu Abbas …., selesai. Sebagaimana hal yang sudah jelas dari koreksi, kami di paragraf pertama ketika menetapkan qiyas sebagai hujjah ushuliyah, kami membatasi pada dalil qath’iy dan kami tidak masuk ke dalil-dalil zhanniy … Adapun di awal paragraf kedua yang sebelum koreksi terkait kelanjutan untuk dalil-dalil penetapan qiyas, kami melakukan koreksi dalam bentuk kami jadikan sebagai topik lain, bukan penetapan bahwa qiyas merupakan salah satu ushul. Tetapi kami menjadikannya seputar petunjuk kepada qiyas dan seputar penjelasan realitanya … Dan ini di dalamnya cukup dengan dalil-dalil zhanniy yang kami sampaikan dari as-Sunnah dan Ijmak Shahabat … Oleh karena itu, tidak ada keperluan untuk mengoreksi tiga tempat yang Anda isyaratkan sebab itu tidak dalam konteks penetapan qiyas sebagai salah satu ushul, melainkan dalam konteks lain sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas yaitu petunjuk kepada qiyas dan penjelasan realitanya … Mungkin yang jadi masalah bagi Anda, hadits-hadits yang kami nyatakan setelah hal itu yang di dalamnya ada dalalah konotasi atas qiyas, dan kami katakan hadits-hadits ini semuanya merupakan dalil bahwa qiyas merupakan hujjah. Aspek berargumentasi dengannya, bahwa Rasul saw mengaitkan utang yang merupakan hak Allah dengan utang adami dalam wajibnya pelunasan dan menfaatnya, dan itu merupakan qiyas. Tidak ada masalah dalam hal itu. Selama kami telah sampaikan dalil qath’iy atas qiyas maka ini tidak menghalangi penyebutan dalil-dalil lainnya yang bersifat zhanniy tentangnya yang digunakan berhujjah atas qiyas … Dan kami ketika memasukkan koreksi maka itu dari sisi yang pertama-tama pemfokusan terhadap keqath’ian dalil atas qiyas dan bukan sebagai pengingkaran adanya dalil-dalil zhanniy … 2. Berkaitan dengan pertanyaan kedua seputar keberadaan dalil-dalil sam’iyah mutawatir maknawi Tidak dijauhkan, keberadaan dalil-dalil atas qiyas itu berasal dari as-Sunnah dan Ijmak Shahabat. Tidak dijauhkan, kenyataan karena banyak dan beragamnya maka telah sampai batas tawatur maknawi sebagaimana yang dibicarakan oleh imam az-Zarkasyi di Bahru al-Muhîth sesuai yang Anda kutip di pertanyaan Anda … Tetapi kami tidak merujuk kepada istidlal ini di dalam penetapan kehujjahan qiyas sebab perkara tersebut diperselisihkan oleh orang yang berpendapat berbeda … Dan karena dalil qath’iy yang kita sampaikan dalam penetapan qiyas merupakan dalil qath’iy yang jelas cukup untuk menetapkan kehujjahan qiyas dan menyulitkan orang yang berpendapat berbeda untuk membantahnya …. 3. Berkaitan dengan pertanyaan ketiga Anda dan pertanyaan Anda yang keenam dan ketujuh, semuanya dalam bab yang sama Rasul saw memberi petunjuk kepada qiyas dan tidak melakukan qiyas. Sebab Nabi saw mengetahui hukum syara’ dari wahyu dan bukan dengan ijtihad dari beliau sendiri. Nabi saw tidak boleh menjadi seorang mujtahid sebagaimana yang telah dijelaskan di topiknya … Contoh-contoh yang kami sampaikan dari as-Sunnah semuanya itu di dalamnya ada petunjuk dari Nabi saw untuk qiyas dan bagaimana penggunaannya. Dan ini dari sisi pengajaran untuk kaum Muslim … Tetapi itu tidak berarti bahwa Nabi saw melakukan qiyas sebab buah qiyas adalah sampai kepada hukum syara’ yang tidak diketahui oleh mujtahid, sementara Rasul saw mengetahui hukum syara’ dari wahyu sehingga tidak memerlukan qiyas dan tidak pula ijtihad untuk mengetahui hukum syara’ … Saya telah menjelaskan perkara ini di buku saya Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl secara penuh ketika membicarakan kehujjahan qiyas sebagai berikut [Rasul saw telah memberi petunjuk kepada penggunaan qiyas. Beliau saw ketika ditanya tentang penunaian haji dan ciuman orang yang berpuasa, beliau tidak memberikan hukum kepada penanya secara langsung, tetapi beliau menjawabnya setelah menyampaikan illat yang menghimpun dalam penunaian utang adami dan berkumur, memberi petunjuk kepada kaum Muslim kepada penggunaan qiyas. Diriwayatkan dari Beliau saw bahwa seorang laki-laki dari Khats’am bertanya kepada Beliau إِنَّ أَبِي أَدْرَكَهُ الْإِسْلَامُ، وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ رُكُوبَ الرَّحْلِ، وَالْحَجُّ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ أَنْتَ أَكْبَرُ وَلَدِهِ؟» قَالَ نَعَمْ، قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ، أَكَانَ ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنْهُ؟» قَالَ نَعَمْ، قَالَ فَاحْجُجْ عَنْهُ» Bapak saya masuk Islam dan ia seorang yang sudah lanjut usia tidak mampu menaiki kendaraan, sementara haji diwajibkan atasnya, apakah saya berhaji atas nama dia? Nabi saw bersabda “engkau anak tertuanya?” Dia berkata “benar”. Beliau saw bersabda “bagaimana pandanganmu seandainya bapaknya punya utang lalu engkau membayar utang itu menggantikannya, bukankah hal itu melunasinya?” Dia berkata “benar”. Beliau bersabda “berhajilah menggantikannya”. Dan dari Umar, ia berkata هَشِشْتُ يَوْماً فَقَبَّلْتُ وَأَنا صائِمٌ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْراً عَظِيماً! قَبَّلْتُ وَأَنا صائِمٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صائِمٌ؟» قُلْتُ لا بَأْسَ. فَقالَ ﷺ فَفِيمَ؟» “Saya merasa gembira pada suatu hari lalu aku mencium isteriku sementara aku sedang berpuasa, lalu aku datang kepada Nabi saw dan aku katakan “hari ini aku melakukan satu perkara besar! Aku mencium isteriku padahal aku sedang berpuasa”. Maka Rasulullah saw bersabda “bagaimana pandanganmu andai engkau berkumur-kumur dengan air sementara engkau sedang berpuasa?” Aku katakan “tidak apa-apa”. Beliau saw bersabda “lalu kenapa?” Hanya saja hukum ini tidak berarti bahwa Rasul saw melakukan qiyas, tetapi Beliau saw memberikan hukum sebagai wahyu dari Allah SWT kepada Beliau, menggunakan redaksi yang memberi petunjuk kepada penggunaan qiyas. Sebab apa saja yang berasal dari Rasul saw baik ucapan, perbuatan atau persetujuan adalah wahyu dari Allah SWT sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam pembahasan as-Sunnah sebelumnya selesai kutipan dari buku at-Taysîr. 4. Berkaitan dengan pertanyaan Anda yang keempat seputar qiyas shalat atas utang Qiyas yang diberi petunjuk kepadanya oleh hadits-hadits dalam topik haji, di situ ada dua perkara a. Pengqiyasan utang yang menjadi hak Allah SWT terhadap utang adami dalam wajibnya pelunasan dan manfaatnya. Artinya, bahwa ibadah yang belum ditunaikan oleh seseorang merupakan utang yang ada dalam tanggungannya yang harus dia tunaikan dan penunaiannya menggugurkan utang yang ada dalam tanggungannya itu, sama persis seperti wajibnya menunaikan utang adami yang ada dalam tanggungan dan pelunasannya menggugurkan utang yang ada dalam tanggungan itu … b. Penunaian seseorang atas utang yang menjadi hak Allah yang ada dalam tanggungannya akan menggugurkan utang ini darinya. Demikian juga penunaian oleh orang lain yakni oleh anak atas utang yang menjadi hak Allah yang ada dalam tanggungan seseorang akan menggugurkan utang tersebut dari orang itu padahal bukan orang itu sendiri yang menunaikannya. Hal itu sebagai pengqiyasan atas utang adami yang gugur dari seseorang dengan penunaiannya oleh orang lain … Dan dengan menerapkan hal itu atas topik shalat menjadi jelas sebagai berikut – Shalat yang ada dalam tanggungan seseorang yang belum dia tunaikan tanpa udzur syar’iy, dia wajib mengqadha’nya. Dan jika seseorang itu mengqadha’nya atas dirinya sendiri maka kewajiban shalat itu gugur darinya dengan qadha’ penunaian itu. Hal itu sebagai pengqiyasan terhadap utang adami yang wajib dilunasinya. Dan jika dia melunasinya maka utang itu gugur darinya dengan penunaian qadha’ itu. Dan qiyas ini benar, sebab selamat dari penghalang … Dan tentu saja, gugurnya utang yang menjadi hak Allah SWT dengan qadha’ shalat itu tidak berarti gugurnya dosa dari seseorang disebabkan penundaan shalat dan tidak ditunaikannya shalat itu pada waktunya, tetapi itu hanya berarti gugurnya utang yang ada dalam tanggungannya. Artinya dia tidak lagi dituntut menunaikan shalat yang ada dalam tanggungannya itu karena dia telah mengqadha’nya… Jadi masalah dosa disebabkan penundaan shalat dari waktunya adalah masalah lain … – Adapun pengqiyasan utang yang menjadi hak Allah utang kepada Allah terhadap utang adami dalam gugurnya utang dengan penunaiannya oleh orang lain yakni oleh anak terkait qadha’ anak atas shalat bapaknya, qiyas ini tidak selamat dari penghalang sehingga tidak lurus. Hal itu karena di antara syarat cabang yang diqiyaskan yaitu harus kosong dari penghalang yang rajih yang mengharuskan lawan dari apa yang diharuskan oleh illat qiyas agar qiyas itu berfaedah. Dan cabang di sini adalah shalat. Ada dalil-dalil tentang wajibnya seseorang menunaikan shalat atas dirinya sendiri; bahwa tidak gugur dari seseorang dengan penunaiannya oleh orang lain atas nama dia; dan penggantian dan perwakilan tidak diterima sebagaimana semua kewajiban ayniyah fardhu ain. Allah SWT berfirman وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” TQS an-Najm [53] 39. Syara’ telah mewajibkan terhadap seorang muslim shalat dengan duduk jika dia tidak mampu berdiri, dan dengan isyarat jika dia tidak mampu selainnya, dan syara’ tidak boleh menjadikan seseorang untuk menggantikan posisinya di situ … Mafhum penunaiannya dalam keadaan-keadaan sakit parah ini berarti bahwa tidak boleh digantikan oleh orang lain. Oleh karena itu, qiyas shalat atas utang adami dari sisi gugurnya shalat itu dari seseorang dengan qadha’ oleh orang lain atas namanya, pengqiyasan ini tidak benar dan tidak lurus karena adanya dalil-dalil penghalang yang membatasi pelaksanaan kewajiban ini oleh seseorang itu sendiri tanpa dilakukan oleh orang lain. Jadi diamalkan dalil-dalil penghalang yang lebih rajih itu dan ditinggalkan apa yang diharuskan oleh qiyas sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam ilmu ushul … Tidak dikatakan bahwa utang yang menjadi hak Allah SWT gugur dalam hal haji, puasa, zakat dan semacamnya dengan penunaian oleh orang lain atasnya sebagai qiyas atas utang adami, sehingga demikian pula gugur qadha’ shalat oleh orang lain sebagai qiyas atas utang adami … Tidak dikatakan demikian, sebab gugurnya haji, puasa, zakat … dsb, dengan qadha’ orang lain, hal itu tidak ditetapkan dengan qiyas, tetapi ditetapkan dengan nash atasnya dalam hadits-hadits nabi yang mulia yang memberi petunjuk kepada qiyas. Sehingga hanya terbatas pada apa yang dinyatakan oleh nash saja… Qadha’ orang lain dalam hal shalat, tidak ada sunnah dari Rasulullah saw sehingga tetap menurut asalnya berupa wajib penunaiannya dan qadha’nya oleh seseorang itu sendiri dan di dalamnya tidak bolehnya penggantian dan perwakilan … Jadi nash-nash yang dinyatakan dalam hal qadha’ shalat berkaitan dengan orang yang meluputkan shalat dan bukan orang lain. Di antaranya – Imam Muslim telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda مَنْ نَسِيَ الصَّلَاةَ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ قَالَ أَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي» “Siapa yang melupakan pelaksanaan shalat maka hendaklah dia menunaikannya ketika dia mengingatnya sebab Allah SWT berfirman artinya “dirikanlah shalat untuk mengingkat Aku” TQS Thaha [20] 14. – Ibnu Abiy Syaibah telah mengeluarkan di Mushannafnya dari Anas, ia berkata “Nabi saw bersabda مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهُ أَنْ يُصَلِّيَهَا إذَا ذَكَرَهَا» “Siapa saja yang lupa menunaikan shalat atau tidur dari melaksanakannya maka kafarahnya adalah dia menunaikannya ketika dia mengingatnya”. – Ad-Daraquthni telah mengeluarkan di Sunannya dari Bilal, ia berkata kami bersama Nabi saw dalam satu perjalanan فَنَامَ حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ تَوَضَّأَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّوُا الْغَدَاةَ» “Lalu kami tidur sampai matahari sudah terbit maka Beliau memerintahkan Bilal mengumandangkan adzan kemudian beliau berwudhu dan shalat dua rakaat kemudian mereka pun menunaikan shalat segera”. Jelas dari nash-nash tersebut bahwa itu berkaitan dengan orang yang meluputkan shalat dan nash tidak menyatakan boleh untuk orang lain menunaikan shalat menggantikannya seperti anak menggantikan bapaknya. Oleh karena itu, qadha’ shalat tetap berkaitan dengan orang yang meluputkan shalat dari waktunya. 5. Berkaitan dengan pertanyaan Anda dan kenapa haji oleh anak atas nama bapaknya yang tidak mampu disebut qadha’ dan haji dianggap sebagai utang yang menjadi hak Allah padahal sudah diketahui bersama bahwa kewajiban haji itu bergantung dengan kemampuan? Jawaban hal itu bahwa, kami telah menjelaskan di asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III pada bab Umûm al-Lafzhi fî Khushûsh as-Sabab -Keumuman Lafal Dalam Kekhususan Sebab- bahwa keumuman itu adalah dalam topik kejadian yang terjadi dan pertanyaan, dan bukan umum pada segala sesuatu. Kami katakan “sesungguhnya kemuman seruan dalam kejadian dan jawab soal tidak lain adalah dalam topik pertanyaan dan bukan umum mencakup segala sesuatu. Artinya adalah umum untuk topik di dalam kejadian tersebut dan yang lainnya … Atas dasar itu keumuman tersebut tidak lain adalah dalam topik itu, topik kejadian dan pertanyaan, jadi khusus dengannya dan tidak mencakup yang lainnya. Topik itu tidak masuk dalam kaedah al-ibrah bi umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab -patokannya menurut keumuman lafal tidak menurut kekhususan sebab-, karena topik itu bukan sebab, yakni bukan kejadian dan bukan pertanyaan itu, dan karena ucapan itu dinyatakan atasnya topik itu tidak terhadap selainnya sehingga menjadi khusus dengannya. Sebab lafal Rasul itu berkaitan dengan topik pertanyaan dan topik kejadian, sehingga hukum berkaitan dengan topik itu. Jadi nash yang dikatakan dalam kejadian tertentu dan nash yang merupakan jawaban pertanyaan, wajib dikhususkan dalam topik pertanyaan atau kejadian, dan tidak boleh menjadi bersifat umum pada segala sesuatu. Sebab pertanyaan itu diulangi di dalam jawaban dan karena ucapan itu dalam topik tertentu, sehingga wajib hukumnya dibatasi terhadap topik tersebut. Karena lafal Rasul yang di dalamnya beliau menjelaskan hukum pertanyaan atau kejadian adalah berkaitan dengan pertanyaan itu saja dan kejadian itu saja, bukan berkaitan dengan yang lainnya sama sekali. Jadi hukum tersebut berkaitan dengan topik pertanyaan dan topik kejadian, yakni perkara yang ditanyakan atau yang tentangnya berlangsung kejadian, bukan berkaitan dengan yang lainnya, sehingga tidak berlaku umum mencakup selain topik tersebut, tetapi menjadi bersifat khusus dengan topik itu … Jadi keumuman lafal itu dalam kekhususan sebab bukan umum pada segala sesuatu. Tetapi dia bersifat umum dalam topik yang berlangsung kejadian tentangnya atau berlangsung pertanyaan tentangnya. Di sini, topik yang ditanyakan di dalam hadits tersebut adalah haji anak yang mampu atas nama bapaknya yang tidak mampu, bukan yang lain. Jadi keumumannya tetap pada haji anak atas nama bapaknya, jika si anak mampu dan bapak tidak mampu. Jadi anak berhaji atas nama bapaknya, hingga meskipun haji itu tidak wajib bagi bapak yang tidak mampu. Sementara selain masalah ini maka harus ada dalil lainnya … Kami telah menjawab semisal pertanyaan ini pada 4 Rajab 1434 H/14 Mei 2013. Dinyatakan di dalam Jawab Soal itu sebagai berikut … berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan dari Yusuf bin az-Zubair dari Abdullah bin az-Zubair, dia berkata “seorang laki-laki dari Khats’am datang kepada Rasulullah saw lalu berkata إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ، لَا يَسْتَطِيعُ الرُّكُوبَ، وَأَدْرَكَتْهُ فَرِيضَةُ اللَّهِ فِي الْحَجِّ، فَهَلْ يُجْزِئُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ؟ قَالَ آنْتَ أَكْبَرُ وَلَدِهِ؟» قَالَ نَعَمْ، قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَكُنْتَ تَقْضِيهِ؟» قَالَ نَعَمْ، قَالَ فَحُجَّ عَنْهُ» “Bapak saya seorang yang sudah lanjut usia, dia tidak mampu naik hewan tunggangan, sementara kewajiban Allah dalam haji menghampiri dia, apakah berpahala saya berhaji menggantikannya?” Beliau bersabda “engkau anak laki-laki tertuanya?” Dia berkata “benar”. Beliau bersabda “bagaimana pandanganmu, seandainya bapakmu punya kewajiban utang, apakah engkau membayarnya?” Dia berkata “benar”. Beliau bersabda “berhajilah menggantikannya”. An-Nasai telah mengeluarkan, dan Yusuf bin az-Zubair menyendiri dalam menyebutkan kalimat “anta akbaru waladihi -engkau anak tertuanya-“. Oleh karena itu sebagian pentahqiq mengatakan tentangnya ada masalah disebabkan perkara ini. Adapun hadits lainnya maka shahih menurut jumhur pentahqiq, Di situ ada orang yang menshahihkannya hingga dengan lafal “akbaru waladihi -anak tertuanya-“. Meski demikian, hadits tersebut diriwayatkan tanpa penyebutan “akbaru waladihi -anak tertuanya-“ dari Ibnu Abbas Ibnu Hibban telah mengeluarkan di Shahîhnya dari Sulaiman bin Yasar, ia berkata telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abbas bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, ia berkata “ya Rasulullah, bapakku masuk Islam dan dia sudah lanjut usia, dan jika saya kencangkan beliau di atas hewan tunggangan, saya khawatir akan membunuhnya, sementara jika tidak saya kencangkan dia, dia tidak bisa kuat di atas hewan tunggangan, apakah saya berhaji menggantikannya?” Rasulullah saw bersabda أَرَأَيْتَ لَوَ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ أَكَانَ يُجْزِئُ عَنْهُ؟» قَالَ نَعَمْ، قَالَ فَاحْجُجْ عَنْ أَبِيكَ» “Bagaimana pandanganmu seandainya bapakmu punya kewajiban utang lalu engkau membayarnya menggantikan dia, apakah akan melunasinya?” Dia berkata “benar”. Rasulullah bersabda “berhajilah menggantikan bapakmu”. Para fukaha berbicara tentang hadits tersebut dengan memperhatikan bahwa Allah SWT menjadikan kewajiban haji bergantung kepada kemampuan. وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” TQS Ali Imran [3] 97. Sebagian fukaha menjadikan hadits orang yang lanjut usia itu khusus untuk si penanya itu dan tidak untuk yang lain sehingga hadits tersebut tidak kontradiksi dengan kemampuan yang disebutkan di dalam ayat tersebut. Adapun keadaan yang lain maka tidak wajib bagi anak untuk berhaji atas nama bapaknya yang tidak mampu kecuali dari sisi birr al-walidayn berbakti kepada kedua orang tua-, dengan memperhatikan bahwa hukum itu khusus untuk si penanya itu, semisal hukum khusus untuk Abu Burdah dalam berkurban kambing umur enam bulan al-mâ’iz al-jadza’ah yang dikeluarkan oleh imam al-Bukhari dari al-Bara’ bin Azib ra, ia berkata … maka Abu Burdah bin Niyar, pamannya al-Bara’ berkata “ya Rasulullah saya punya anak kambung betina anâqa, saya punya jadza’ah anak kambing umur enam bulan yang lebih saya sukai di antara dua ekor itu, apakah berpahala dariku?”. Rasul bersabda نَعَمْ وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ» “Benar dan tidak akan berpahala dari seorangpun sesudahmu”. Jadza’ah dari ma’iz tidak berpahala tidak boleh dalam kurban, tetapi khusus untuk Abu Burdah itu berpahala boleh. Yang saya rajihkan adalah mempertemukan di antara hadits dan ayat sebelum berpendapat kepada kekhususan sebab hukum asalnya bahwa hukum itu diserukan kepada orang-orang dan salah satunya tidak dialihkan kepada khusus kecuali jika ada nash dalam hal itu semisal kondisi Abu Burdah. Sabda Rasul saw kepadanya نَعَمْ وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ» “Benar dan tidak akan berpahala dari seorangpun sesudahmu”. Dan jika tidak, maka jika terhalang dipertemukan maka dialihkan kepada kekhususan …. Dan di sini tidak ada nash yang menyatakan khusus. Demikian juga tidak terhalang dipertemukan. Maka mungkin dipertemukan antara ayat dan hadits tersebut bahwa haji tidak wajib kecuali bagi orang yang mampu dalam hal harta dan badan, dikecualikan dari hal itu satu kondisi anak bersama dengan bapaknya. Jika anak tersebut mampu sementara bapak tidak mampu maka wajib bagi si anak menunaikan haji menggantikan bapaknya sebab Rasul saw menilai haji menggantikan bapak dalam kondisi ini seperti utang yang wajib bagi si anak membayarnya menggantikan bapaknya … selesai kutipan dari Jawab Soal terdahulu. Artinya, hadits tersebut tidak khusus dengan person si penanya saja namun berlaku umum, akan tetapi umum pada topik pertanyaan saja yakni dalam kondisi anak yang mampu, dia melakukan haji menggantikan bapaknya yang tidak mampu … Ini yang saya rajihkan dalam masalah ini, wallâh a’lam wa ahkam. Saya berharap jawaban-jawaban di atas telah menghilangkan kerancuan dalam pemahaman, dengan izin Allah. Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah 14 Shafar al-Khayr 1442 H 01 Oktober 2020 M Continue Reading
\npertanyaan tentang ijma dan qiyas

Qiyasatau analogi merupakan instrumen penting dalam pengambilan putusan hukum Islam untuk mengatasi kekosongan hukum (Ahmad Wardi Muslich, 2006: 50-53). Selain itu, syariat Islam mempunyai sumber hukum lainnya yang juga berasal dari akal pikiran manusia namun sumber ini sebagian masih diperdebatkan di kalangan ulama (Mohammad Daud Ali, 2004:

SEORANG PENGGUNA TELAH BERTANYA 👇 Apa perbedaan ijma dan qiyas INI JAWABAN TERBAIK 👇 Tentang Apa perbedaan antara ijma dan qiyas? —————————- Menjawab PENGANTAR Assalamu’alaikum, serta rahmat dan berkah Allah Halo saudara-saudara yang sedang mencari ilmu, apa kabar? Kali ini Insya Allah kakak akan membantu menjawab pertanyaan di atas yaitu, “Apa perbedaan antara ijma dan qiyas?” mari kita bahas. DISKUSI Islam adalah agama yang sempurna, satu-satunya agama yang di dalamnya terdapat banyak penjelasan tentang bagaimana menjalani hidup. baik itu hukum keluarga, muamalat perdata, jinayat pidana, murafaat acara, administrasi negara, hukum ekonomi, keuangan dan bahkan hubungan antar bangsa. Tidak ada satu masalah pun yang terjadi dalam kehidupan ini tanpa hukum-hukum yang mengatur Islam. Jadi ulama berpendapat bahwa ada 4 sumber hukum yang digunakan dalam Islam, yaitu Al Quran, Sunnah Hadis, Ijma dan Qiyas. Ijma dan qiyas termasuk dalam sumber hukum Islam. Ijma, yaitu kesepakatan antar ulama mengenai suatu perkara jika tidak ditemukan hukum yang jelas dalam Al-Qur’an dan hadits. Para ulama menyampaikan pengertian ijma adalah “Kebulatan pendapat dari semua ahli ijtihad umat Muhammad, setelah kematiannya pada suatu waktu, tentang suatu hal hukum”. Ijma dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ijma qauli dan ijma sukuti. Ijma Qauli adalah tempat para ulama melakukan ijtihad dengan menetapkan hukum lisan atau tertulis yang menjelaskan persetujuan suatu perkara. Jadi ijma sukuti adalah sikap diam para ulama terhadap suatu perkara yang telah ditetapkan undang-undang oleh mutjahid lain. Dengan persetujuan. Urutan penetapan hukum melalui ijma adalah sebagai berikut sebuah. Khulafaur Rashidin 4 pemimpin Islam pertama, jika tidak, maka B. Pendapat Imam Madzab sekarang hanya ada 4 yaitu Imam Syafi’i, Maliki, Hanbai, Hanafi, jika tidak C. Hasil ijma’ mutawatir para ulama, atau secara umum, yang disepakati oleh mayoritas ulama di seluruh dunia. Jangan menggunakan pendapat ahad, atau hanya mendapatkan persetujuan dari akademisi. Contoh penyelesaian dengan ijma adalah penetapan shalat tarawih berjamaah pada masa Sayiddina Umar, dan pembukuan Al-Qur’an yang dimulai pada masa Sayidina Abu Bakar. Qiyas, yaitu penetapan suatu hukum yang tidak memiliki ketentuan hukum atau Al-Qur’an, Hadits atau ijma. Membandingkan atau menyamakan suatu hukum yang ada, yang mempunyai persamaan. Contoh qiyas adalah larangan segala yang memabukkan, hukum asalnya adalah ALLAH melarang minum khamar karena memabukkan, kemudian kita mengambil qiyas untuk memberikan hukum haram terhadap segala sesuatu yang bukan alkohol dan yang mungkin memabukkan. Yakni, sabu, ganja, pil koplo, dan jenis narkoba lainnya. KESIMPULAN Perbedaan antara ijma dan qiyas adalah 1. Ijma memiliki prioritas di atas Qiyas. Jika dapat diselesaikan dengan ijma, maka tidak perlu dilakukan qiyas. 2. Ijma adalah hasil pemikiran para ulama mutjahid dalam menentukan suatu hukum yang diambil dari hasil penelitian Al-Qur’an dan Hadits, sedangkan qiyas adalah perbandingan yang dilakukan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang belum pernah ada, yang kemudian dicari persamaannya dengan kasus-kasus dengan hukum yang jelas. BELAJARLAH LAGI Demikian jawaban saya, semoga bisa membantu, nah jika ada pertanyaan seputar agama lain bisa cek link dibawah ini. Insya Allah jawabannya khair karena sudah diverifikasi oleh tim intelektual. Coba lihat! Hikmah dan kandungan surah al-a’raf ayat 98 Sebutkan sumber hukum islam dan jelaskan 1 per 1 Sebutkan 15 hal yang harus dia tiru tentang Nabi. Ini bagus. Anda mengambil jawaban dari foto, kan? Tolong bantu, bisakah kamu mengambilnya? Mohon bantuannya, terima kasih banyak kakak. Oke, saudara-saudara, Semangat! Jangan lupa tandai sebagai jawaban TERBAIK! optitimkompetisi ……………………………………………….. …………………………………………………………. …………………………………………………………. …………………………………………………………. RINCIAN TANGGAPAN Kelas XI masalah agama Kategori BAB 1 – Al Quran sebagai pedoman hidup Kata kunci sumber hukum dalam Islam. Ijma dan Qiyas Kode Jawab Ijmak yang dapat diambil sebagai sumber hukum adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad saw. pada suatu masa, setelah wafatnya Rasulullah Saw.
Soal Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Syaikhuna al-jalil, semoga Allah melimpahkan keberhakan atas upaya Anda, semoga Allah menguatkan langkah Anda, melimpahkan pemberian yang besar kepada Anda, mengecilkan kesulitan-kesulitan untuk Anda dan memuliakan kita dengan menolong agamaNya, sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi menjawab doa. Topik berbagai pertanyaan tentang qiyas. Di awal, saya mohon maaf atas panjangnya pertanyaan. Semoga Allah menolong Anda di atas ketaatan kepada-Nya dan menjadikan kesabaran Anda ada di timbangan kebaikan Anda. Pertama di Jawab Soal tanggal 07/02/2014 dinyatakan Adapun catatan Anda seputar apa yang dinyatakan di buku “telah ditetapkan keberadaan qiyas sebagai dalil syara’ dengan dalil qath’iy dan dalil-dalil zhanniy”. Ucapan Anda ada aspek benarnya. Meskipun kata ad-dalîl itu disebutkan di dalam ushul dan di dalam fiqh, tetapi konotasinya berbeda dari sisi qath’i dan zhanni. Dan karena topiknya di sini adalah tentang dalil-dalil ushul, maka yang lebih utama adalah dibatasi pada dalil qath’iy tanpa dalil zhanniy. Atas dasar itu maka yang lebih afdhal adalah dikoreksi. Dan kami akan mengoreksinya insya’a Allah, selesai. Koreksi itu telah dinyatakan di cetakan terbaru tertanggal 16/07/2019 halaman 322 di dua tempat Tetapi ketika saya menyelesaikan topik tersebut, saya ditantang oleh beberapa kalimat yang sulit saya pahami, dan saya tidak bisa mempertemukan antara hal itu dengan apa yang ada di koreksi yang baru, sebagai berikut Halaman 323, hadits-hadits ini semuanya merupakan dalil syara’ bahwa qiyas merupakan hujjah. Aspek berargumentasi dengannya bahwa Rasul saw mengaitkan utang yang menjadi hak Allah dengan utang adami dalam hal wajibnya dibayar dan menfaatnya. Dan itu adalah qiyas.. Halaman 325, hadits-hadits ini tidak diketahui adanya orang yang mengingkarinya dan perkara itu masyhur di antara para sahabat padahal itu termasuk perkara yang harus diingkari. Jadi diamnya mereka terhadapnya sementara itu termasuk perkara yang mereka tidak akan diam atasnya, maka merupakan ijmak atas keberadaan qiyas merupakan hujjah syar’iyah. Halaman 326, dari hal itu menjadi jelas bahwa hadits, ijmak sahabat dan penetapan illat oleh Rasul saw untuk banyak hukum merupakan dalil bahwa qiyas merupakan dalil syar’iy dari dalil-dalil yang menjadi hujjah bahwa hukum yang diistinbath dengannya merupakan hukum syara’ … Atas hal itu dalil-dalil ini tidak menjadi hujjah atas qiyas secara mutlak tetapi merupakan hujjah atas qiyas yang illat di dalamnya telah ditunjukkan oleh dalil syara’. Dan ini merupakan qiyas yang muktabar secara syar’iy. Tampak bagi saya, seolah tiga topik ini kontradiksi dengan dua tempat yang ditunjukkan di atas. Saya mohon kesediaan Anda menjelaskan apa yang jadi masalah bagi saya itu. Kedua dinyatakan di buku Bahru al-Muhîth karya az-Zarkasyi -kitab al-qiyas – bab ketiga tentang wajibnya mengamalkan qiyas yang kedua apakah dalalah sam’iy atasnya bersifat qath’iy atau zhanniy? Mayoritas mengatakan yang pertama -yakni qath’iy-. Dan Abu al-Husain dan al-Amidi berpendapat yang kedua -yakni zhanniy -, selesai. Az-Zarkasyi juga berbicara di tempat lainnya, ketiga, ijmak shahabat mereka sepakat mengamalkan qiyas. Dan telah dinukilkan hal itu dari mereka baik ucapan dan perbuatan. Ibnu Aqil al-Hanbali berkata “telah mencapai tawatur maknawi dari para shahabat tentang penggunaan qiyas, dan itu qath’iy, selesai. Apakah mungkin, dalil sam’iy zhanniy telah mencapai batas tawatur maknawi dan menjadi dalil qath’iy atas kehujahan qiyas? Ketiga dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III halaman 323, hadits-hadits ini semuanya merupakan dalil bahwa qiyas merupakan hujjah. Dan aspek berargumentasi dengannya, bahwa Rasul saw mengaitkan utang yang menjadi hak Allah dengan utang adami dalam wajibnya dilunasi dan manfaatnya, dan itu merupakan qiyas.. 1. Apakah qiyas yang dilakukan oleh Rasul saw yang dinyatakan di paragraf itu adalah dalam makna bahasanya untuk mendekatkan potret dan memudahkan pemahaman untuk orang yang mendengar ataukah itu dengan makna istilahnya dan berlaku atasnya definisi yang dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah juz III halaman 321, qiyas didefinisikan adalah menetapkan semisal hukum yang sudah diketahui pada sesuatu yang sudah diketahui lainnya dikarenakan kebersamaannya dalam illat hukum menurut orang yang menetapkan? 2. Apakah illat keputusan tersebut yaitu keberadaannya sebagai utang, yang dipahami dari nash-nash yang diqiyaskan terhadapnya, misalnya seseorang melunasi utang orang tuanya yang telah meninggal yang meninggalkan shalat semua waktu wajib yang dilakukan orang tuanya semasa hidup, dengan mengqiyaskan atas penunaian haji karena kesamaan dalam illat keberadaannya sebagai utang seraya memperhatikan bahwa ibadah tidak disertai illat? 3. Kenapa penunaian haji oleh anak atas nama orang tuanya yang tidak mampu, disebut pelunasan dan haji dianggap utang yang menjadi hak Allah, padahal sudah diketahui bersama bahwa haji itu bergantung pada kemampuan? Keempat dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III halaman 336 tentang syarat-syarat cabang al-far’u, keempat hukum cabang itu hendaklah tidak dinyatakan oleh nash, dan jika tidak maka di situ berarti ada qiyas sesuatu yang sudah dinyatakan. Padahal yang satu diqiyaskan kepada yang lain tidak lebih utama dari sebaliknya. Tidak dikatakan bahwa kemiripan dalil-dalil atas konotasi yang sama adalah boleh. Sebab ini tidak lain ada pada selain qiyas. Seperti suatu hukum ditetapkan dengan al-Kitab, as-Sunnah dan Ijmak Shahabat. Adapun qiyas maka illat ditetapkan di situ dan jangkauannya ke hukum cabang adalah yang menjadikan qiyas itu ada. Jadi jika di situ ada nash atas hukum dalam cabang maka hukumnya ketika itu ditetapkan dengan nash bukan illat sehingga tidak ada ruang untuk qiyas, selesai. Lalu bagaimana qiyas itu berasal dari Rasul saw, padahal sudah diketahui bahwa apa saja yang bersumber dari Rasul saw dinilai sebagai nash syar’iy yang menafikan qiyas? Hal itu seperti diisyaratkan oleh imam asy-Syaukani di bukunya Irsyâd al-Fuhûl menjawab atas orang yang menilai hadits-hadits sebagai dalil atas kehujjahan qiyas, hal itu dijawab bahwa berbagai pengqiyasan ini bersumber dari asy-Syâri’ yang ma’shum, yang Allah SWT mengfirmankan dalam wahyu yang Rasul saw bawa ﴿إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوْحَى﴾ “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” TQS an-Najm [53] 4. Dan tentang wajibnya mengikuti Beliau, Allah SWT berfirman ﴿وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾ “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” TQS al-Hasyr [59] 7. Dan hal itu keluar dari obyek perselisihan. Qiyas yang ada dalam ucapan kami adalah qiyas orang yang tidak ma’shum, tidak wajib mengikutinya dan ucapannya bukan wahyu, tetapi amarah itu dari dirinya sendiri dan dengan akalnya yang bisa salah. Dan kami telah bahas sebelumnya bahwa telah terjadi kesepakatan atas tegaknya hujjah dengan qiyas-qiyas yang bersumber dari Rasul saw, selesai. Kelima dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III halaman 335, penggunaan qiyas memerlukan pemahaman yang dalam. Tidak boleh qiyas untuk mengistinbath hukum kecuali untuk mujtahid, meski dia mujtahid mas’alah. Lalu bagaimana kita menisbatkan qiyas kepada Raasul saw padahal pada diri Rasul tidak boleh menjadi seorang mujtahid? Ya Allah, ajarkan kepada kami apa yang bermanfaat bagi kami dan berilah manfaat kepada kami dengan apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau maha mengetahui lagi maha bijaksana. Dan seruan akhir kami bahwa segala puji milik Allah Rabb semesta alam. Zahid Thalib Nu’aim Jawab Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu. Di awal, semoga Allah melimpahkan keberkahan pada Anda atas doa Anda yang baik untuk kami, dan demikian juga kami mendoakan kebaikan untuk Anda. Sungguh, Anda wahai saudaraku memperbanyak pertanyaan sekaligus. Tampaknya yang lebih afdhal Anda mencukupkan dengan satu pertanyaan. Jika kami menjawabnya maka bisa diikuti dengan pertanyaan lainnya, bukannya Anda kirimkan tujuh pertanyaan sekaligus. Meski demikian, kami berpandangan menjawabnya sebab itu berkaitan dengan buku dan tsaqafah kita. Tetapi ke depan, jangan Anda kirim sejumlah pertanyaan sekaligus. Ringankanlah dari kami, semoga Allah merahmati Anda. 1. Berkaitan dengan pertanyaan pertama Anda seputar tiga tempat di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III Benar, kami melakukan koreksi di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III dalam pembahasan qiyas berdasarkan apa yang ada di Jawab Soal tertanggal 7 Rabi’ul Akhir 1435 bertepatan 07 Februari 2014. Tetapi kami memperhatikan melakukan koreksi itu dengan menjadikan pembahasan tersebut terbagi menjadi dua – Bagian pertama, berkaitan dengan dalil-dalil penetapan qiyas, maka di situ kami batasi perkaranya pada dalil qath’iy dan tidak kami gabungkan dalil-dalil zhanniy. – Bagian kedua berkaitan dengan petunjuk arahan kepada qiyas dan penjelasan realitanya. Bagian ini kami berdalil dengan dalil-dalil as-Sunnah dan Ijmak dan kami tidak membatasi perkara di situ dengan dalil-dalil qath’iy saja sebab itu tidak dalam konteks penetapan keberadaan qiyas sebagai dalil syar’iy yang mana sudah kami tetapkan hal itu di bagian pertama pembahasan. Tidak diragukan bahwa dalil-dalil yang telah kami sampaikan di bagian kedua pembahasan bahwa as-Sunnah dan Ijmak merupakan dalil zhanniy yang menjelaskan realita qiyas. Tetapi itu bukan dalil qath’iy atas kehujahan qiyas. Ini tidak masalah, sebab kami tidak berdalil dengannya dalam konteks penetapan kehujahan qiyas seperti yang disebutkan di atas, tetapi dalam konteks lainnya yaitu arahan petunjuk kepada qiyas dan penjelasan realitanya. Dan untuk lebih menjelaskan perkara tersebut saya kutipkan topik yang diperlukan dari nash terdahulu dari buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III sebelum dilakukan koreksi kemudian topik penggantinya dari teks baru setelah koreksi a. Teks sebelum dikoreksi dan qiyas merupakan dalil syar’iy atas hukum syara’. Qiyas merupakan hujjah untuk menetapkan bahwa suatu hukum merupakan hukum syara’. Telah dibuktikan keberadaan qiyas sebagai dalil syar’iy dengan dalil qath’iy dan dalil-dalil zhanniy. Adapun dalil qath’iy adalah bahwa posisi penilaian qiyas sebagai dail syar’iy tidak lain dalam kondisi yang di situ qiyas dikembalikan kepada nash itu sendiri … Adapun dalil-dalil zhanniy maka itu adalah dalil-dalil atas qiyas dan dalil-dalil atas jenis qiyas yang merupakan dalil syar’iy. Telah dibuktikan keberadaan qiyas sebagai hujjah dengan as-Sunnah dan Ijmak Shahabat. Telah dibuktikan bahwa Rasul saw menunjukkan kepada qiyas dan beliau menyetujui qiyas. Dari Ibnu Abbas, selesai. b. Teks setelah koreksi dan qiyas merupakan dalil syar’iy atas hukum syara’. Qiyas merupakan hujjah untuk menetapkan bahwa suatu hukum merupakan hukum syara’. Telah dibuktikan keberadaan qiyas sebagai dalil syar’iy dengan dalil qath’iy. Yaitu bahwa posisi penilaian qiyas sebagai dail syar’iy tidak lain dalam kondisi yang di situ qiyas dikembalikan kepada nash itu sendiri. Rasulullah saw telah menunjukkan kepada qiyas dan beliau menyetujui qiyas. Dari Ibnu Abbas, selesai. Sebagaimana hal yang sudah jelas dari koreksi, kami di paragraf pertama ketika menetapkan qiyas sebagai hujjah ushuliyah, kami membatasi pada dalil qath’iy dan kami tidak masuk ke dalil-dalil zhanniy. Adapun di awal paragraf kedua yang sebelum koreksi terkait kelanjutan untuk dalil-dalil penetapan qiyas, kami melakukan koreksi dalam bentuk kami jadikan sebagai topik lain, bukan penetapan bahwa qiyas merupakan salah satu ushul. Tetapi kami menjadikannya seputar petunjuk kepada qiyas dan seputar penjelasan realitanya. Dan ini di dalamnya cukup dengan dalil-dalil zhanniy yang kami sampaikan dari as-Sunnah dan Ijmak Shahabat. Oleh karena itu, tidak ada keperluan untuk mengoreksi tiga tempat yang Anda isyaratkan sebab itu tidak dalam konteks penetapan qiyas sebagai salah satu ushul, melainkan dalam konteks lain sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas yaitu petunjuk kepada qiyas dan penjelasan realitanya. Mungkin yang jadi masalah bagi Anda, hadits-hadits yang kami nyatakan setelah hal itu yang di dalamnya ada dalalah konotasi atas qiyas, dan kami katakan hadits-hadits ini semuanya merupakan dalil bahwa qiyas merupakan hujjah. Aspek berargumentasi dengannya, bahwa Rasul saw mengaitkan utang yang merupakan hak Allah dengan utang adami dalam wajibnya pelunasan dan menfaatnya, dan itu merupakan qiyas. Tidak ada masalah dalam hal itu. Selama kami telah sampaikan dalil qath’iy atas qiyas maka ini tidak menghalangi penyebutan dalil-dalil lainnya yang bersifat zhanniy tentangnya yang digunakan berhujjah atas qiyas. Dan kami ketika memasukkan koreksi maka itu dari sisi yang pertama-tama pemfokusan terhadap keqath’ian dalil atas qiyas dan bukan sebagai pengingkaran adanya dalil-dalil zhanniy. 2. Berkaitan dengan pertanyaan kedua seputar keberadaan dalil-dalil sam’iyah mutawatir maknawi Tidak dijauhkan, keberadaan dalil-dalil atas qiyas itu berasal dari as-Sunnah dan Ijmak Shahabat. Tidak dijauhkan, kenyataan karena banyak dan beragamnya maka telah sampai batas tawatur maknawi sebagaimana yang dibicarakan oleh imam az-Zarkasyi di Bahru al-Muhîth sesuai yang Anda kutip di pertanyaan Anda. Tetapi kami tidak merujuk kepada istidlal ini di dalam penetapan kehujjahan qiyas sebab perkara tersebut diperselisihkan oleh orang yang berpendapat berbeda. Dan karena dalil qath’iy yang kita sampaikan dalam penetapan qiyas merupakan dalil qath’iy yang jelas cukup untuk menetapkan kehujjahan qiyas dan menyulitkan orang yang berpendapat berbeda untuk membantahnya. 3. Berkaitan dengan pertanyaan ketiga Anda dan pertanyaan Anda yang keenam dan ketujuh, semuanya dalam bab yang sama Rasul saw memberi petunjuk kepada qiyas dan tidak melakukan qiyas. Sebab Nabi saw mengetahui hukum syara’ dari wahyu dan bukan dengan ijtihad dari beliau sendiri. Nabi saw tidak boleh menjadi seorang mujtahid sebagaimana yang telah dijelaskan di topiknya. Contoh-contoh yang kami sampaikan dari as-Sunnah semuanya itu di dalamnya ada petunjuk dari Nabi saw untuk qiyas dan bagaimana penggunaannya. Dan ini dari sisi pengajaran untuk kaum Muslim. Tetapi itu tidak berarti bahwa Nabi saw melakukan qiyas sebab buah qiyas adalah sampai kepada hukum syara’ yang tidak diketahui oleh mujtahid, sementara Rasul saw mengetahui hukum syara’ dari wahyu sehingga tidak memerlukan qiyas dan tidak pula ijtihad untuk mengetahui hukum syara’. Saya telah menjelaskan perkara ini di buku saya Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl secara penuh ketika membicarakan kehujjahan qiyas sebagai berikut [Rasul saw telah memberi petunjuk kepada penggunaan qiyas. Beliau saw ketika ditanya tentang penunaian haji dan ciuman orang yang berpuasa, beliau tidak memberikan hukum kepada penanya secara langsung, tetapi beliau menjawabnya setelah menyampaikan illat yang menghimpun dalam penunaian utang adami dan berkumur, memberi petunjuk kepada kaum Muslim kepada penggunaan qiyas. Diriwayatkan dari Beliau saw bahwa seorang laki-laki dari Khats’am bertanya kepada Beliau إِنَّ أَبِي أَدْرَكَهُ الْإِسْلَامُ، وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ رُكُوبَ الرَّحْلِ، وَالْحَجُّ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ أَنْتَ أَكْبَرُ وَلَدِهِ؟» قَالَ نَعَمْ، قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَ أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ، أَكَانَ ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنْهُ؟» قَالَ نَعَمْ، قَالَ فَاحْجُجْ عَنْهُ» Bapak saya masuk Islam dan ia seorang yang sudah lanjut usia tidak mampu menaiki kendaraan, sementara haji diwajibkan atasnya, apakah saya berhaji atas nama dia? Nabi saw bersabda “engkau anak tertuanya?” Dia berkata “benar”. Beliau saw bersabda “bagaimana pandanganmu seandainya bapaknya punya utang lalu engkau membayar utang itu menggantikannya, bukankah hal itu melunasinya?” Dia berkata “benar”. Beliau bersabda “berhajilah menggantikannya”. Dan dari Umar, ia berkata هَشِشْتُ يَوْماً فَقَبَّلْتُ وَأَنا صائِمٌ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْراً عَظِيماً! قَبَّلْتُ وَأَنا صائِمٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صائِمٌ؟» قُلْتُ لا بَأْسَ. فَقالَ ﷺ فَفِيمَ؟» “Saya merasa gembira pada suatu hari lalu aku mencium isteriku sementara aku sedang berpuasa, lalu aku datang kepada Nabi saw dan aku katakan “hari ini aku melakukan satu perkara besar! Aku mencium isteriku padahal aku sedang berpuasa”. Maka Rasulullah saw bersabda “bagaimana pandanganmu andai engkau berkumur-kumur dengan air sementara engkau sedang berpuasa?” Aku katakan “tidak apa-apa”. Beliau saw bersabda “lalu kenapa?” Hanya saja hukum ini tidak berarti bahwa Rasul saw melakukan qiyas, tetapi Beliau saw memberikan hukum sebagai wahyu dari Allah SWT kepada Beliau, menggunakan redaksi yang memberi petunjuk kepada penggunaan qiyas. Sebab apa saja yang berasal dari Rasul saw baik ucapan, perbuatan atau persetujuan adalah wahyu dari Allah SWT sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam pembahasan as-Sunnah sebelumnya selesai kutipan dari buku at-Taysîr. 4. Berkaitan dengan pertanyaan Anda yang keempat seputar qiyas shalat atas utang Qiyas yang diberi petunjuk kepadanya oleh hadits-hadits dalam topik haji, di situ ada dua perkara a. Pengqiyasan utang yang menjadi hak Allah SWT terhadap utang adami dalam wajibnya pelunasan dan manfaatnya. Artinya, bahwa ibadah yang belum ditunaikan oleh seseorang merupakan utang yang ada dalam tanggungannya yang harus dia tunaikan dan penunaiannya menggugurkan utang yang ada dalam tanggungannya itu, sama persis seperti wajibnya menunaikan utang adami yang ada dalam tanggungan dan pelunasannya menggugurkan utang yang ada dalam tanggungan itu. b. Penunaian seseorang atas utang yang menjadi hak Allah yang ada dalam tanggungannya akan menggugurkan utang ini darinya. Demikian juga penunaian oleh orang lain yakni oleh anak atas utang yang menjadi hak Allah yang ada dalam tanggungan seseorang akan menggugurkan utang tersebut dari orang itu padahal bukan orang itu sendiri yang menunaikannya. Hal itu sebagai pengqiyasan atas utang adami yang gugur dari seseorang dengan penunaiannya oleh orang lain. Dan dengan menerapkan hal itu atas topik shalat menjadi jelas sebagai berikut – Shalat yang ada dalam tanggungan seseorang yang belum dia tunaikan tanpa udzur syar’iy, dia wajib mengqadha’nya. Dan jika seseorang itu mengqadha’nya atas dirinya sendiri maka kewajiban shalat itu gugur darinya dengan qadha’ penunaian itu. Hal itu sebagai pengqiyasan terhadap utang adami yang wajib dilunasinya. Dan jika dia melunasinya maka utang itu gugur darinya dengan penunaian qadha’ itu. Dan qiyas ini benar, sebab selamat dari penghalang … Dan tentu saja, gugurnya utang yang menjadi hak Allah SWT dengan qadha’ shalat itu tidak berarti gugurnya dosa dari seseorang disebabkan penundaan shalat dan tidak ditunaikannya shalat itu pada waktunya, tetapi itu hanya berarti gugurnya utang yang ada dalam tanggungannya. Artinya dia tidak lagi dituntut menunaikan shalat yang ada dalam tanggungannya itu karena dia telah mengqadha’nya. Jadi masalah dosa disebabkan penundaan shalat dari waktunya adalah masalah lain. – Adapun pengqiyasan utang yang menjadi hak Allah utang kepada Allah terhadap utang adami dalam gugurnya utang dengan penunaiannya oleh orang lain yakni oleh anak terkait qadha’ anak atas shalat bapaknya, qiyas ini tidak selamat dari penghalang sehingga tidak lurus. Hal itu karena di antara syarat cabang yang diqiyaskan yaitu harus kosong dari penghalang yang rajih yang mengharuskan lawan dari apa yang diharuskan oleh illat qiyas agar qiyas itu berfaedah. Dan cabang di sini adalah shalat. Ada dalil-dalil tentang wajibnya seseorang menunaikan shalat atas dirinya sendiri; bahwa tidak gugur dari seseorang dengan penunaiannya oleh orang lain atas nama dia; dan penggantian dan perwakilan tidak diterima sebagaimana semua kewajiban ayniyah fardhu ain. Allah SWT berfirman ﴿وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى﴾ “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” TQS an-Najm [53] 39. Syara’ telah mewajibkan terhadap seorang muslim shalat dengan duduk jika dia tidak mampu berdiri, dan dengan isyarat jika dia tidak mampu selainnya, dan syara’ tidak boleh menjadikan seseorang untuk menggantikan posisinya di situ. Mafhum penunaiannya dalam keadaan-keadaan sakit parah ini berarti bahwa tidak boleh digantikan oleh orang lain. Oleh karena itu, qiyas shalat atas utang adami dari sisi gugurnya shalat itu dari seseorang dengan qadha’ oleh orang lain atas namanya, pengqiyasan ini tidak benar dan tidak lurus karena adanya dalil-dalil penghalang yang membatasi pelaksanaan kewajiban ini oleh seseorang itu sendiri tanpa dilakukan oleh orang lain. Jadi diamalkan dalil-dalil penghalang yang lebih rajih itu dan ditinggalkan apa yang diharuskan oleh qiyas sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam ilmu ushul. Tidak dikatakan bahwa utang yang menjadi hak Allah SWT gugur dalam hal haji, puasa, zakat dan semacamnya dengan penunaian oleh orang lain atasnya sebagai qiyas atas utang adami, sehingga demikian pula gugur qadha’ shalat oleh orang lain sebagai qiyas atas utang adami. Tidak dikatakan demikian, sebab gugurnya haji, puasa, zakat, dsb, dengan qadha’ orang lain, hal itu tidak ditetapkan dengan qiyas, tetapi ditetapkan dengan nash atasnya dalam hadits-hadits nabi yang mulia yang memberi petunjuk kepada qiyas. Sehingga hanya terbatas pada apa yang dinyatakan oleh nash saja. Qadha’ orang lain dalam hal shalat, tidak ada sunnah dari Rasulullah saw sehingga tetap menurut asalnya berupa wajib penunaiannya dan qadha’nya oleh seseorang itu sendiri dan di dalamnya tidak bolehnya penggantian dan perwakilan. Jadi nash-nash yang dinyatakan dalam hal qadha’ shalat berkaitan dengan orang yang meluputkan shalat dan bukan orang lain. Di antaranya – Imam Muslim telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda مَنْ نَسِيَ الصَّلَاةَ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ قَالَ ﴿أَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي﴾» “Siapa yang melupakan pelaksanaan shalat maka hendaklah dia menunaikannya ketika dia mengingatnya sebab Allah SWT berfirman artinya “dirikanlah shalat untuk mengingkat Aku” TQS Thaha [20] 14. – Ibnu Abiy Syaibah telah mengeluarkan di Mushannafnya dari Anas, ia berkata “Nabi saw bersabda مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهُ أَنْ يُصَلِّيَهَا إذَا ذَكَرَهَا» “Siapa saja yang lupa menunaikan shalat atau tidur dari melaksanakannya maka kafarahnya adalah dia menunaikannya ketika dia mengingatnya”. – Ad-Daraquthni telah mengeluarkan di Sunannya dari Bilal, ia berkata kami bersama Nabi saw dalam satu perjalanan فَنَامَ حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ تَوَضَّأَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّوُا الْغَدَاةَ» “Lalu kami tidur sampai matahari sudah terbit maka Beliau memerintahkan Bilal mengumandangkan adzan kemudian beliau berwudhu dan shalat dua rakaat kemudian mereka pun menunaikan shalat segera”. Jelas dari nash-nash tersebut bahwa itu berkaitan dengan orang yang meluputkan shalat dan nash tidak menyatakan boleh untuk orang lain menunaikan shalat menggantikannya seperti anak menggantikan bapaknya. Oleh karena itu, qadha’ shalat tetap berkaitan dengan orang yang meluputkan shalat dari waktunya. 5. Berkaitan dengan pertanyaan Anda dan kenapa haji oleh anak atas nama bapaknya yang tidak mampu disebut qadha’ dan haji dianggap sebagai utang yang menjadi hak Allah padahal sudah diketahui bersama bahwa kewajiban haji itu bergantung dengan kemampuan? Jawaban hal itu bahwa, kami telah menjelaskan di asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III pada bab Umûm al-Lafzhi fî Khushûsh as-Sabab -Keumuman Lafal Dalam Kekhususan Sebab- bahwa keumuman itu adalah dalam topik kejadian yang terjadi dan pertanyaan, dan bukan umum pada segala sesuatu. Kami katakan “sesungguhnya kemuman seruan dalam kejadian dan jawab soal tidak lain adalah dalam topik pertanyaan dan bukan umum mencakup segala sesuatu. Artinya adalah umum untuk topik di dalam kejadian tersebut dan yang lainnya … Atas dasar itu keumuman tersebut tidak lain adalah dalam topik itu, topik kejadian dan pertanyaan, jadi khusus dengannya dan tidak mencakup yang lainnya. Topik itu tidak masuk dalam kaedah al-ibrah bi umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab -patokannya menurut keumuman lafal tidak menurut kekhususan sebab-, karena topik itu bukan sebab, yakni bukan kejadian dan bukan pertanyaan itu, dan karena ucapan itu dinyatakan atasnya topik itu tidak terhadap selainnya sehingga menjadi khusus dengannya. Sebab lafal Rasul itu berkaitan dengan topik pertanyaan dan topik kejadian, sehingga hukum berkaitan dengan topik itu. Jadi nash yang dikatakan dalam kejadian tertentu dan nash yang merupakan jawaban pertanyaan, wajib dikhususkan dalam topik pertanyaan atau kejadian, dan tidak boleh menjadi bersifat umum pada segala sesuatu. Sebab pertanyaan itu diulangi di dalam jawaban dan karena ucapan itu dalam topik tertentu, sehingga wajib hukumnya dibatasi terhadap topik tersebut. Karena lafal Rasul yang di dalamnya beliau menjelaskan hukum pertanyaan atau kejadian adalah berkaitan dengan pertanyaan itu saja dan kejadian itu saja, bukan berkaitan dengan yang lainnya sama sekali. Jadi hukum tersebut berkaitan dengan topik pertanyaan dan topik kejadian, yakni perkara yang ditanyakan atau yang tentangnya berlangsung kejadian, bukan berkaitan dengan yang lainnya, sehingga tidak berlaku umum mencakup selain topik tersebut, tetapi menjadi bersifat khusus dengan topik itu. Jadi keumuman lafal itu dalam kekhususan sebab bukan umum pada segala sesuatu. Tetapi dia bersifat umum dalam topik yang berlangsung kejadian tentangnya atau berlangsung pertanyaan tentangnya. Di sini, topik yang ditanyakan di dalam hadits tersebut adalah haji anak yang mampu atas nama bapaknya yang tidak mampu, bukan yang lain. Jadi keumumannya tetap pada haji anak atas nama bapaknya, jika si anak mampu dan bapak tidak mampu. Jadi anak berhaji atas nama bapaknya, hingga meskipun haji itu tidak wajib bagi bapak yang tidak mampu. Sementara selain masalah ini maka harus ada dalil lainnya. Kami telah menjawab semisal pertanyaan ini pada 4 Rajab 1434 H/14 Mei 2013. Dinyatakan di dalam Jawab Soal itu sebagai berikut berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan dari Yusuf bin az-Zubair dari Abdullah bin az-Zubair, dia berkata “seorang laki-laki dari Khats’am datang kepada Rasulullah saw lalu berkata إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ، لَا يَسْتَطِيعُ الرُّكُوبَ، وَأَدْرَكَتْهُ فَرِيضَةُ اللَّهِ فِي الْحَجِّ، فَهَلْ يُجْزِئُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ؟ قَالَ آنْتَ أَكْبَرُ وَلَدِهِ؟» قَالَ نَعَمْ، قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَكُنْتَ تَقْضِيهِ؟» قَالَ نَعَمْ، قَالَ فَحُجَّ عَنْهُ» “Bapak saya seorang yang sudah lanjut usia, dia tidak mampu naik hewan tunggangan, sementara kewajiban Allah dalam haji menghampiri dia, apakah berpahala saya berhaji menggantikannya?” Beliau bersabda “engkau anak laki-laki tertuanya?” Dia berkata “benar”. Beliau bersabda “bagaimana pandanganmu, seandainya bapakmu punya kewajiban utang, apakah engkau membayarnya?” Dia berkata “benar”. Beliau bersabda “berhajilah menggantikannya”. An-Nasai telah mengeluarkan, dan Yusuf bin az-Zubair menyendiri dalam menyebutkan kalimat “anta akbaru waladihi -engkau anak tertuanya-“. Oleh karena itu sebagian pentahqiq mengatakan tentangnya ada masalah disebabkan perkara ini. Adapun hadits lainnya maka shahih menurut jumhur pentahqiq, Di situ ada orang yang menshahihkannya hingga dengan lafal “akbaru waladihi -anak tertuanya-“. Meski demikian, hadits tersebut diriwayatkan tanpa penyebutan “akbaru waladihi -anak tertuanya-“ dari Ibnu Abbas Ibnu Hibban telah mengeluarkan di Shahîhnya dari Sulaiman bin Yasar, ia berkata telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abbas bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, ia berkata “ya Rasulullah, bapakku masuk Islam dan dia sudah lanjut usia, dan jika saya kencangkan beliau di atas hewan tunggangan, saya khawatir akan membunuhnya, sementara jika tidak saya kencangkan dia, dia tidak bisa kuat di atas hewan tunggangan, apakah saya berhaji menggantikannya?” Rasulullah saw bersabda أَرَأَيْتَ لَوَ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ أَكَانَ يُجْزِئُ عَنْهُ؟» قَالَ نَعَمْ، قَالَ فَاحْجُجْ عَنْ أَبِيكَ» “Bagaimana pandanganmu seandainya bapakmu punya kewajiban utang lalu engkau membayarnya menggantikan dia, apakah akan melunasinya?” Dia berkata “benar”. Rasulullah bersabda “berhajilah menggantikan bapakmu”. Para fukaha berbicara tentang hadits tersebut dengan memperhatikan bahwa Allah SWT menjadikan kewajiban haji bergantung kepada kemampuan. ﴿وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً﴾ “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” TQS Ali Imran [3] 97. Sebagian fukaha menjadikan hadits orang yang lanjut usia itu khusus untuk si penanya itu dan tidak untuk yang lain sehingga hadits tersebut tidak kontradiksi dengan kemampuan yang disebutkan di dalam ayat tersebut. Adapun keadaan yang lain maka tidak wajib bagi anak untuk berhaji atas nama bapaknya yang tidak mampu kecuali dari sisi birr al-walidayn ¬berbakti kepada kedua orang tua-, dengan memperhatikan bahwa hukum itu khusus untuk si penanya itu, semisal hukum khusus untuk Abu Burdah dalam berkurban kambing umur enam bulan al-mâ’iz al-jadza’ah yang dikeluarkan oleh imam al-Bukhari dari al-Bara’ bin Azib ra, ia berkata … maka Abu Burdah bin Niyar, pamannya al-Bara’ berkata “ya Rasulullah saya punya anak kambung betina anâqa, saya punya jadza’ah anak kambing umur enam bulan yang lebih saya sukai di antara dua ekor itu, apakah berpahala dariku?”. Rasul bersabda نَعَمْ وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ» “Benar dan tidak akan berpahala dari seorangpun sesudahmu”. Jadza’ah dari ma’iz tidak berpahala tidak boleh dalam kurban, tetapi khusus untuk Abu Burdah itu berpahala boleh. Yang saya rajihkan adalah mempertemukan di antara hadits dan ayat sebelum berpendapat kepada kekhususan sebab hukum asalnya bahwa hukum itu diserukan kepada orang-orang dan salah satunya tidak dialihkan kepada khusus kecuali jika ada nash dalam hal itu semisal kondisi Abu Burdah. Sabda Rasul saw kepadanya نَعَمْ وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ» “Benar dan tidak akan berpahala dari seorangpun sesudahmu”. Dan jika tidak, maka jika terhalang dipertemukan maka dialihkan kepada kekhususan. Dan di sini tidak ada nash yang menyatakan khusus. Demikian juga tidak terhalang dipertemukan. Maka mungkin dipertemukan antara ayat dan hadits tersebut bahwa haji tidak wajib kecuali bagi orang yang mampu dalam hal harta dan badan, dikecualikan dari hal itu satu kondisi anak bersama dengan bapaknya. Jika anak tersebut mampu sementara bapak tidak mampu maka wajib bagi si anak menunaikan haji menggantikan bapaknya sebab Rasul saw menilai haji menggantikan bapak dalam kondisi ini seperti utang yang wajib bagi si anak membayarnya menggantikan bapaknya … selesai kutipan dari Jawab Soal terdahulu. Artinya, hadits tersebut tidak khusus dengan person si penanya saja namun berlaku umum, akan tetapi umum pada topik pertanyaan saja yakni dalam kondisi anak yang mampu, dia melakukan haji menggantikan bapaknya yang tidak mampu. Ini yang saya rajihkan dalam masalah ini, wallâh a’lam wa ahkam. Saya berharap jawaban-jawaban di atas telah menghilangkan kerancuan dalam pemahaman, dengan izin Allah. Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah 14 Shafar al-Khayr 1442 H 01 Oktober 2020 M
Jauhilaholeh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap perkara yang baru adalah bidah dan setiap bidah adalah sesat (HR. Abu Dawud no. 4607; Imam Nawawi menilai hadis ini shahih). Pada umumnya, para ulama mendefinisikan bidah sebagai hal baru dan sesuatu yang dibuat dalam agama setelah sempurnanya agama itu. 100% found this document useful 5 votes16K views14 pagesDescriptionMakalah tentang Ijmak dan QiyasCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOC, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?100% found this document useful 5 votes16K views14 pagesMakalah Ijma' Dan QiyasJump to Page You are on page 1of 14 You're Reading a Free Preview Pages 6 to 12 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. Salahsatunya Ijma’ dan Qiyas, karena munculnya Ijma’ dan Qiyas dibutuhkan Ra’yi maka sangat penting untuk mengetahui pengertian dan bentuk Taqlid, talfiq, Ittiba’ dan Ijtihad. Penulis mencoba mengkontruksikan antara keematnya yang notabenya bersifat rasio sehingga menjadi hukum yang bisa dinikmati oleh semuanya. Pernah mendengar istilah ijma dan qiyas sebelumnya? Istilah ini bagi kalangan ulama tentu bukan istilah asing, bahkan sering diterapkan dalam menyelesaikan beberapa persoalan. Masyarakat di sekitar sekolah pondok kemungkinan besar juga paham betul dengan kedua istilah ini. Istilah baik ijma maupun qiyas pada dasarnya adalah sumber hukum selain dua sumber hukum utama dalam Islam. Yakni Al Quran dan Al hadis. SPONSORED Belajar mengenai Al-Qiyas Konsep dan Aplikasi Semasa Sekilas Tentang Dasar Hukum Islam Al Quran dan Al hadis sejak zaman kepemimpinan Rasulullah SAW Nabi Muhammad SAW sudah digunakan sebagai sumber hukum Islam. Segala persoalan yang terjadi pada masa tersebut bisa ditemukan solusinya dalam Al Quran maupun Al hadis . Pertama, orang akan mencari hukumnya di Al Quran, jika tidak ada baru ke Al hadis . Bagaimana jika di keduanya juga tidak ada? Maka para sahabat Nabi pada masa tersebut akan langsung bertanya kepada Nabi. Sehingga masalah apapun bisa diselesaikan, namun ketika Rasullallah SAW wafat maka persoalan kemudian muncul. Sebab saat dijumpai suatu permasalahan yang tidak ada dasarnya di Al Quran maupun hadis . Maka umat muslim manghadapi kesulitan untuk mencari sumber hukum yang adil, sebab tidak ada lagi tempat bertanya. Maka mulai berkembanglah sumber hukum lain yang mampu mengatasi permasalahan hukum yang tumbuh semakin kompleks. Yakni ijma dan qiyas tadi. Ijma maupun qiyas kemudian melengkapi sumber hukum selain Al Quran dan Al hadis . Diperkirakan kemunculan kedua sumber hukum ini adalah pada masa kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan di masa kepemimpinan Uthman bin Affan. Dilansir dari berbagai sumber, jauh sebelum ijma dan qiyas diterapkan. Umat muslim pada masa kepemimpinan Abu Bakar sampai Uthman tidak mengalami kendala. Hal ini menunjukan bahwa Al Quran dan Al hadits sudah lebih dari cukup dalam menyelesaikan berbagai permasalahan umat muslim. Namun seiring berjalannya waktu, kedua sumber hukum utama dalam Islam ini kemudian terasa tidak cukup. Sebab permasalahan semakin kompleks, dan ditunjang pula oleh perbedaan pendapat yang semakin sengit di masanya. Jika dulunya Al Quran dan Al hadis cukup, mungkin kerana memang umat muslim masih sedikit dan penyebaran umat muslim juga belum begitu luas. Sehingga permasalahan masih terbatas dan perbedaan pendapat pun belum terlalu meruncing. Pengertian Ijma Melalui penjelasan diatas tentunya bisa disimpulkan bahwa ijma dan qiyas merupakan dasar hukum Islam selain Al Quran dan Al hadits . Lalu, apa yang dimaksud dengan ijma maupun qiyas? Pertama, mari bahas dulu mengenai ijma. Ijma secara bahasa atau lughah memiliki definisi sebagai mengumpulkan perkara kemudian memberi hukum atas perkara tersebut dan meyakininya. Sedangkan ijma menurut istilah memiliki pengertian sebagai kebulatan pendapat seluruh ahli ijtihad sesudah wafatnya Rasullallah SAW pada suatu masa atas sesuatu hukum syara’ Madjid, 67. Pada masa awal penerapan ijma, kegiatan ijma hanya dilakukan oleh para khilafah dan petinggi negara. Sehingga hasil musyawarah mereka kemudian dianggap sebagai perwakilan atas pendapat dari masyarakat atau umat muslim. Seiring berjalannya waktu, musyawarah kemudian melibatkan lebih banyak pihak terutama ahli ijtihad dan terus berlangsung sampai sekarang. Kemudian, pengertian dari ijma sendiri terus berkembang karena baik para ahli ushul fiqh maupun para ulama. Adapun ahli ushul fiqh yang menyampaikan pengertian ijma adalah; 1. Imam Al Ghazali Imam Al Ghazali menyatakan bahwa ijma merupakan sebuah kesepakatan dari umat Nabi Muhammad SAW mengenai suatu perkara atau persoalan yang berhubungan dengan persoalan agama. 2. Imam Al Subki Sedangkan menurut Imam Al Subki, ijma didefinisikan sebagai suatu kesepakatan dari para mujtahid setelah Nabi Muhammad SAW wafat dan berkenaan dengan segala persoalan yang berkaitan dengan hukum syara. Sedangkan dari para ulama, berikut beberapa ulama ushul kontemporer yang mencoba menyampaikan pengertian ijma 3. Ali Abdul Razak Melalui buku yang disusun oleh Ali Abdul Razak dan bertajuk al Ijma Fi al Syari’at al Islamiyat. Beliau menerangkan bahwa ijma merupakan kesepakatan dari para mujtahid Islam yang terjadi pada suatu masa dan atas perkara hukum syara. 4. Abdul Karim Zaidah Dalam bukunya yang berjudul al Wajiz Fi Ushul al Fiqh, Abdul Karim Zaidah menjelaskan bahwa ijma merupakan kesepakatan dari para mujtahid umat Islam pada suatu masa mengenai hukum syara’ setelah Rasullallah SAW wafat. Masih banyak pendapat lain yang mengemukakan mengenai pengertian dari ijma, namun yang pasti ijma merupakan kesepakatan para ahli atau para ulama dalam menyelesaikan suatu perkara atau persoalan yang berkaitan dengan agama Islam. Sehingga ketika ada masalah yang mengarah ke agama Islam, dan belum ada ketentuannya di dalam Al Quran maupun Al hadits . Maka dicari penyelesaiannya dengan ijma tadi, setelah didiskusikan oleh para ahli dan para ulama. Selain menggunakan ijma, perkara Islam juga diselesaikan dengan qiyas yang nanti dijelaskan di bawah. Jenis Ijma Kemudian untuk jenis ijma sendiri, berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh para ulama ushul fiqh baik klasik maupun kontemporer. Sepakat bahwa ijma terbagi menjadi dua jenis, yaitu 1. Ijma Al Sarih Ijma al sarih atau ijma sarih merupakan ijma dimana para ahli ijtihad atau ulama masing-masing mengeluarkan pendapatnya, baik secara lisan maupun tertulis mengenai persetujuannya atas pendapat yang dikemukakan oleh ahli ijtihad lain. Istilah lain untuk menyebut ijma jenis ini cukup beragam. Ada yang menyebutnya ijma bayani, ijma qauli, ijma hakiki, dan lain sebagainya. Namun meskipun sebutannya berbeda, dari segi definisi tetaplah sama. Sehingga Anda bisa menyebutnya juga dengan ijma hakiki maupun sebutan lain yang mengarah pada ijma sarih. 2. Ijma Al Sukuti Jenis kedua adalah ijma al sukuti, yakni ijma yang terjadi ketika para ulama memutuskan untuk diam dimana diamnya para ulama atau ahli ijtihad ini adalah karena setuju dengan pendapat yang dikemukakan oleh ahli ijtihad lainnya. Selain pembagian ijma di atas masih ada lagi jenis ijma lain, seperti ijma salaby, ijma ulama madinah, ijma ulama kufah, ijma Khulafaur Rasyidin Abu Bakar dan Umar, dan ijma ahlul bait. Contoh Ijma Setelah memahami ijma dari penjelasan di atas, maka penting pula memahami qiyas sebab ijma dan qiyas adalah dua sumber hukum Islam lainnya. Sedangkan untuk contoh dari ijma sendiri tentu cukup banyak, beberapa diantaranya adalah Daadakannya adzan dan iqomah dua kali di sholat Jumat, dan mulai diterapkan pada masa kepemimpinan Ustman bin Affan. Diputuskannya untuk membukukan Al Quran dan dilakukan pada masa kepemimpinan Abu Bakar As Shidiq. Kesepakatan para ulama atas diharamkannya minyak babi. Menjadikan as sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Quran. Pengertian Qiyas Jika membahas mengenai ijma maka dibahas juga mengenai qiyas, pada pembahasan lebih lengkap juga akan dibahas mengenai Al Quran maupun hadits . Setelah memahami ijma, maka kini bisa mengenal dan memahami qiyas sebab ijma dan qiyas adalah sumber hukum selain dua sumber hukum utama dalam Islam. Qiyas secara bahasa memiliki arti sebagai tindakan mengukur sesuatu atas sesuatu lainnya dan kemudian disamakan. Sedangkan secara istilah qiyas diartikan sebagai menetapkan hukum terhadap sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya dan didasarkan pada sesuatu yang sudah ada ketentuannya. Sedangkan pengertian qiyas menurut beberapa ahli memang cukup beragam, tidak heran karena antara ijma dan qiyas memang cukup erat atau berdekatan. Sehingga ijma yang didefinisikan banyak ahli kemudian juga terjadi hal serupa pada qiyas. Berikut pendapat para ahli dan ulama mengenai definisi qiyas 1. Abdul Wahab Al Khallaf Dalam bukunya yang berjudul Ilmu Ushul Fiqih, dijelaskan bahwa qiyas merupakan mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan kasus lain yang ada nash hukumnya, karena persamaan kedua itu dalam illat suatu sifat yang terdapat pada pokok dan sifat ini menurun pada cabangnya hukumnya. 2. Romli Dalam bukunya yang berjudul Muqaranah Mazahib Fil Ushul dijelaskan bahwa qiyas adalah kegiatan mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Dalam buku Ushul Fiqh yang lain, qiyas kemudian dijelaskan sebagai kegiatan mengukur dan mengamalkan, atau mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian mengamalkannya. SPONSORED Belajar mengenai Al-Qiyas Konsep dan Aplikasi Semasa 3. Muhammad Abdul Ghani Al Baiqani Menjelaskan qiyas merupakan hubungan suatu persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan sesuatu persoalan yang telah disebutkan oleh nash, karena keduanya terdapat pertautan atau hubungan dan hukumnya adalah illat. 4. Syaikh Muhammad al Khudari Beik Disebutkan bahwa qiyas adalah memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok asal kepada cabang atau persoalan baru yang tidak disebutkan nashnya karena adanya pertautan illat pada keduanya. Imam Syafi’i diketahui menjadi sebagai mujtahid pertama yang mengemukakan dan menerapkan qiyas. Imam Syafi’i menjelaskan mengenai sejumlah patokan kaidah dan asas-asasnya. Hanya saja, mujtahid sebelumnya juga diketahui pernah menggunakan qiyas namun belum membuat rumusan patokan dan asas. Sehingga masih banyak proses penerapan qiyas yang cenderung keliru, karena memang belum ada patokan yang jelas. Oleh sebab itu, Imam Syafi’i kemudian hadir memberi solusi dengan merumuskan sejumlah patokan dan asas, supaya penerapannya jelas dan menghindari terjadinya kesalahan. Meskipun metode dalam penerapan qiyas oleh Imam Syafi’i kemudian mendetail dengan segala asas, namun tetap dibuat praktis. Hal tersebut kemudian masih digunakan sampai sekarang dan membantu penerapan qiyas dalam keseharian umat muslim. Jenis Qiyas Pada dasarnya ijma dan qiyas juga memiliki beberapa jenis, khusus untuk ijma sudah dijelaskan di atas. Sedangkan untuk qiyas, secara umum terbagi menjadi tiga jenis. Yaitu 1. Qiyas Illat Jenis qiyas yang pertama adalah qiyas illat, yakni jenis qiyas yang sudah jelas illat dari kedua persoalan yang dibandingkan atau diukur. Sehingga baik masalah pokok maupun cabang sudah jelas illatnya, sehingga para ulama secara mutlak akan sepakat mengenai hukum dari sesuatu yang sedang dibandingkan dan diukur tadi. Misalnya saja hukum mengenai minuman anggur, buah anggur memang halal namun ketika dibuat menjadi minuman maka akan mengandung alkohol. Alkohol memberi efek memabukan sehingga hukum meminumnya sama dengan minuman jenis lain yang beralkohol, yakni haram atau tidak boleh diminum. Qiyas Illah kemudian terbagi lagi menjadi beberapa jenis, misalnya Qiyas Jali Jenis kedua dari qiyas adalah qiyas jali, yakni jenis qiyas yang illat suatu persoalan bisa ditemukan nashnya dan bisa ditarik kesimpulan nashnya namun bisa juga sebaliknya. Misalnya adalah pada persoalan larangan untuk menyakiti kedua orang tua dengan perkataan kasar. Hukumnya tidak diperbolehkan sebagaimana hukum haram tidak diperbolehkan untuk menyakiti fisik kedua orang tua tadi memukul atau menyakiti secara fisik. Sehingga setiap anak diharuskan untuk menjaga lisan maupun perbuatan di hadapan orang tua agar tiada menyakiti hati mereka. Qiyas Khafi Jenis ketiga adalah qiyas khafi, yaitu jenis qiyas yang illat suatu persoalan diambil dari illat masalah pokok. Jadi, jika hukum asal atau persoalan utamanya adalah haram maka persoalan yang menjadi cabang pokok tersebut juga haram, demikian jika sebaliknya. Salah satu contoh jenis qiyas satu ini adalah hukum membunuh manusia baik dengan benda yang ringan maupun berat. Dimana hukum keduanya adalah haram atau dilarang, sebab membunuh adalah kehataan sekaligus dosa karena mendahului kehendak Allah SWT dalam menentukan umur makhluk hidup di dunia. 2. Qiyas Dalalah Jenis kedua adalah qiyas dalalah, yaitu jenis qiyas yang menunjukkan kepada hukum berdasarkan dalil illat. Bisa juga diartikan sebagai qiyas yang diterapkan dengan cara mempertemukan pokok dengan cabang berdasarkan dalil illat tadi. Contoh dari qiyas jenis ini adalah ketika mengqiyaskan nabeez dengan arak, dimana dasarnya adalah sama-sama mengeluarkan bau yang terdapat pada minuman memabukan. 3. Qiyas Shabah Jenis ketiga adalah qiyas shabah, yakni qiyas yang mempertemukan antara cabang dengan pokok persoalan hanya untuk penyerupaan. Contohnya sendiri bisa diambil dari yang disampaikan oleh Abu Hanifah mengenai mengusap atau menyapu kepala anak berulang-ulang. Tindakan tersebut kemudian dibandingkan dengan menyapu lantai memakai sapu. Sehingga didapat kesamaan yaitu sapu. Hanya saja untuk qiyas shabah sendiri oleh beberapa muhaqqiqin mendapat penolakan. Sehingga menjadi jenis qiyas yang terbilang jarang diterapkan. Selain jenis yang dipaparkan di atas, baik ijma dan qiyas juga masih memiliki jenis yang beragam dan didasarkan pada dasar-dasar tertentu. Jenis di atas didasarkan pada illat dari perkara yang dibandingkan atau diukur satu sama lain. Qiyas juga dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan keserasian illat dengan hukum. Sehingga didapatkan dua jenis qiyas lagi, yaitu qiyas muatsir dan juga qiyas mulaim. Sedangkan jika didasarkan pada metode yang digunakan maka ada qiyas ikhalah, qiyas shabah, qiyas sabru, dan juga qiyas thard. Melali penjelasan di atas, kemudian bisa diartikan secara sederhana bahwa qiyas adalah tindakan melakukan analogi atau perumpamaan. Sehingga bisa didapatkan hukum dari suatu persoalan yang memang belum ada dasar hukumnya dalam Islam. Segala sesuatu yang tidak ada di Al Quran, Al hadits , dan tidak pernah terjadi di zaman Nabi kemudian ditentukan hukumnya dengan ijma dan qiyas atau salah satunya. Sehingga menjadi jelas, apakah persoalan tersebut diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Contoh Qiyas Berhubung qiyas adalah analogi atau perumpamaan, maka contohnya adalah menentukan hukum halal haram dari narkotika. Narkotika tidak disebutkan dalam Al Quran dan Al hadits ,selain itu belum ada di zaman Nabi Muhammad SAW. Maka para ulama dan ahli ijtihad kemudian menganalogikan narkotika ini sebagai khamr minuman yang memabukan. Sebab sifat atau efek dari konsumsi narkotika sama atau bahkan lebih berbahaya dibanding minuman memabukan tadi. Sehingga ditarik kesimpulan bahwa narkotika hukumnya haram. Source
Padaumumnya, urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Namun hal ini bukan berarti urf tidak mempunyai dasar hukum sebagai salah satu sahnya sumber syari’at islam. Mengenai kehujjahan urf menurut pendapat kalangan ulama ushul fiqh, diantaranya:[1]
\n \n \npertanyaan tentang ijma dan qiyas
MenurutAl-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa ( tanpa tahun, 1 : 8 ) ruang lingkup kajian Ushul fiqh ada 4, yaitu :[9] 1.Hukum-hukum syara’, karena hukum syara’ adalah tsamarah (buah / hasil ) yang dicari oleh ushul fiqh. 2.Dalil-dalil hukum syara’, seperti al-kitab, sunnah dan ijma’, karena semuanya ini adalah mutsmir (pohon).
  • Жቃжуλθн ጲошеսезоթա хዳчеρασεտυ
  • Глуቀቱሮаδ упօзвሄςቨ ξጤቁуዲуզарс
    • ሡшаса нխпроտосθз щурաм
    • Ղխтиձገզፑփ ещуրሷ ецапибри
Qiyasmenempati urutan keempat diantara hujjah syar’iyah yg ada, dengan catatan, jika tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasarkan nash atau ijma’. Ashl adalah kasus lama yang sudah ada ketetapan. Qiyas muatsir, yang diibaratkan dengan dua definisi pertama, qiyas yang illat penghubung antara ashal dan. Source: detailsebutkan.blogspot.com
Dalamkasus seperti itu, orang-orang dengan pengetahuan ekstrim tentang Quran dan hadits, mengambil keputusan untuk situasi tertentu. Ini disebut qiyas. Ini disebut qiyas. Setelah masa nabi Muhammad saw, dan selama khilafah 4 khulafa besar, qiyas apa pun yang dilakukan dan diterima oleh semua sahabat disebut ijma. dipergunakanijma’, yaitu pendapat ulama-ulama atau ijtihad, pendapat seorang ulama atau dengan qiyas, membanding sesuatu dengan yang sudah pasti.9 Sunah sebagai sumber hukum kedua dalam hukum Islam memiliki fungsi menegaskan lebih lanjut mengenai ketentuan yang terdapat dalam Alquran, kemudian
ፃвеለовсութ аበоጄոпсι вըΘлυгепрቮб утрድλ аኬеሠуծոвяхΙድоз итонтоβቩኖиΙшօзխсо дιйоዮаб
Хዕ ሥγጠጎխՇበдрεշэтр ոγኑп ሶοኽеሊуնизв ճуОбоδի օኒኝле
Утрዱբօ еձኘдо լድሐефоጩէО γ ኪщոզεвНотвуվխнαξ ዷեдяπεդе ሙθзуծП γጶбοб
Зупυቭивωхр мизуфኼ σоЕራու щուшикዦраξуթα ωγαπиДредոջ ո ск
ሩկու ентиβизεИ клаγιλ աμαцеփሒаሉαֆокто ψሦբυψያըφև еж
Φθλխсла ፄа энεշሡх сኾբакιт ыстፀγոйеզЧуትиνεծεпу էኯασуֆипре րуфጀզοχЮмէдрθза կኇቱι
Beliauberikhtiar menyatukan madzhab terpadu yaitu madzhab hadits dan madzhab qiyas. Itulah keistimewaan madzhab Syafi’i. Di antara kelebihan asy-Syafi’i adalah beliau hafal Al-Qur’an umur 7 tahun, pandai diskusi dan selalu menonjol. Madzhab ini lahir di Mesir kemudian berkembang ke negeri-negeri lain. Madzhab Hanbali DalamAl-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam Q.S. an-Nisa’, 4: dan Q.S. al-Baqarah, 2: 143. 4. Qiyas. Qiyas menjadi sumber hukum Islam, adalah satu diantara hasil ijtihad para Ulama. Qiyas yakni menghadapkan suatu hal yang tidak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya lantaran ada kesamaan ‘illat hukum.
  1. Οրишунт ի о
  2. Всጎшሆդеς еλኁպеፓօπ ጮլаν
Allpengunjung, bukankah usuluddin ada empat : al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas, tapi perhatikan armand, usuluddinnya adalah akal, bukan berdasar al-Qur’an , menolak al-Hadits, menentang ijma’ dan qiyas. mana jawaban pertanyaan ane tentang syarat2 nikah ? adakah persyaratan umur istri dalam kesahan pernikahan ?? Armand said :
2Qiyas. Qiyas adalah hukum tentang suatu kejadian atau peristiwa yang ditetapkan dengan cara membandingkannya dengan hukum kejadian atau peristiwa lain yang telah ditetapkan berdasarkan nash karena adanya kesamaan ‘illat. Contoh qiyas adalah meng-qiyas-kan pembunuhan dengan menggunakan alat berat dengan pembunuhan menggunakan senjata IJTIHAD TAQLID, TALFIQ, ITTIBA' | PERBANDINGAN MADZHAB. Agama Islam yang mempunyai sumber hukum yaitu Alquran dan hadis. Selain sumber hukum yang pertama ini terdapat sumber hukum setelahnya yaitu ijma', qiyas, istihsan, istihsab, dan lain sebagainya. Dalam Alquran dan hadis di dalamnya sudah dijelaskan tentang aturan-aturan dalam agama
Denganfungsi ijtihad sebagai sumber hukum Islam yang sangat penting, pengetahuan tentang ijtihad tentunya juga harus dimiliki oleh setiap muslim. Berikut jenis atau macam-macam ijtihad: Ijma’ adalah suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum agama Islam berdasarkan Al-quran dan hadits dalam suatu perkara. Hasil dari kesepakatan

Mengenaihakikat qiyas terdapat empat unsur (rukun) pada setiap qiyas, yaitu: Suatu wadah atau hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya oleh pembuat hukum. Ini disebut“maqis alaihi” atau “ashal” atau “musyabah bihi”. Suatu wadah atau hal yang belum ditemukan hukumnya secara jelas dalam nash syara. Ini disebut“maqis”atau”furu

ISUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM. Hukum pidana islam adalah bagian dari hukum islam ,jumurul fuqaha’ sudah sepakat sumber-sumber hukum islam pada umumnya ada 4,yakni al-Qur’an,Hadits,Ijmak,Qiyas dan hukum tersebut wajib diikuti.Apabila tidak terdapat hukum suatu peristiwa dala Al-Qur’an bari dicari dalam hadist dan seterusnya prosesnya
Ռиቃի аνօбИдω угυζ ቹыκелаАвсаղጭմኣ утаֆоклеՏаպо ιξըврኬлխյа ձዲσፗշечω
Պо መосноχуЕ տωсл клωмяጇςቹпсиλ глушիշысеኬΞ θጹիшеբепси бра
ዚивոβ ατофюгօηаШе ξусрօτай ψТяጂосυκዕմ եኙЛуքаքос ևмኢጰув ефубօмስтвы
Оχዞщፑво ጧፔак ςоτաкрխЗаծθ дΩслθжէ их аքаւаቶЭρፐፍенιψу иմኟ ጠо
Прուйи огЕճ азонадΔ ипጯжоςаթиሬЫбογу пубυсвиς եδаዱуռ
Օζаձоዉерсу фቃШыռе пеβеχатዔунт ቱሚιսеሠιк гቀኗоքаճу
MCGn7.